Musionline.co.id - Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) memiliki sejarah kebudayaan yang panjang, mulai dari masa Megalitikum, Kedatuan Sriwijaya, Kerajaan Palembang-Kesultanan Palembang Darussalam, masa kolonial, masa kemerdekaan sampai masa modern sekarang.
Kepala Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Dr Aufa Syahrizal Sarkomi melalui Kepala UPTD Museum Negeri Sumsel H Chandra Ampriyadi SH mengungkapkan, keragaman budaya di Provinsi Sumsel merupakan hasil dari 23 suku bangsa yang tersebar di seluruh daerah dan pengaruh etnis Cina, Arab, India dan Belanda.
ke-23 suku yang dimaksud adalah suku Abung, Anak Dalam, Daya, Enim, Kayu Agung, Kikim, Kisam, Komering, Kubu, Lematang, Lintang, Meranjat, Musi, Ogan, Palembang, Besemah, Pedamaran, Rambang, Ranau, Rawas, Saling, Teloko dan suku Semendo.
H Chandra menjelaskan, rumah merupakan hasil kebudayaan dari sebuah komunitas dalam hal ini suku bangsa, sehingga setiap suka bangsa akan menghasilkan hunian yang spesifik berdasarkan tradisi yang berkembang.
"Potensi variasi suku di Sumsel menghasilkan banyaknya ragam rumah tradisional. Berdasarkan kondisi geografis Provinsi Sumsel, rumah tradisional dapat dibagi menjadi rumah Iliran dan rumah Uluan," ujarnya.
Menurutnya, Palembang merupakan pusat pemerintahan berada di daerah Iliran terdapat rumah tradisional, seperti Rumah Limas, Rumah Cara Gudang dan Rumah Rakit.
Sementara daerah di luar Palembang lebih dikenal dengan daerah Uluan, memiliki rumah tradisional yang disebut Rumah Ulu. Diantaranya, Ghumah Baghi di Kota Pagaralam, Kabupaten Lahat dan Muara Enim. Kemudian Lamban Cara di Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU) Timur, Lamban Tuha di Kabupaten OKU Selatan, dan Lamban Ulu Ogan di Kabupaten OKU.
Koleksi Rumah Tua di Museum Negeri Sumsel "Balaputra Dewa"
Untuk memertahankan rumah-rumah ini, maka Disbudpar Sumsel berusaha memindahkan rumah-rumah tua asli tersebut ke Museum untuk menjadi koleksi dan pembelajaran bagi masyarakat.
Alhamdulillah, Museum Balaputra Dewa memiliki tiga unit koleksi tentang rumah tersebut. Yaitu dua unit Rumah Limas dan satu unit Lamban Ulu Ogan.
H Chandra menjelaskan, rumah-rumah tersebut sudah berusia tua dikisaran 300 tahun lalu dan masih berbentuk asli seperti dahulu.
"Memang ada beberapa kayu yang sudah usang, terpaksa kita ganti. Namun, bentuknya tetap asli seperti dulu kala," ujarnya lagi.
Rumah Limas
Rumah Limas yang hingga kita berdiri megah dengan arsitekturnya itu di areal Museum Negeri Sumsel adalah milik Pangeran Syarief Ali. Pangeran ini adalah menantu Hoesin Dhiauddin, adik Sultan Mahmud Badaruddin II.
Hoesin Dhiauddin sempat diangkat Inggris sebagai sultan bergelar Sultan Ahmad Najamuddin II pada tahun 1812 dan dijatuhkan lagi oleh Sultan Mahmud Badaruddin II pada tahun 1813.
Nah...Pangeran Syarief Ali merupakan pemimpin klan Arab yang menguasai jalur perdagangan sungai terbesar selama masa 1800-an. Perusahaan pelayaran ini mengalami kemunduran pada awal abad ke-20, terutama setelah pendirian Nederlandse Stomvaart Maatschappij pada tahun 1879.
Kembali lagi ke Rumah Limas, ini merupakan salah satu rumah yang dibongkar Belanda tahun 1821. Rumah ini sempat tidak diketahui keberadaannya, sampai kemudian terlacak berita kalau rumah itu dibeli seorang pangeran, pesirah Marga Batun, Sirah Pulau Padang (kini masuk dalam wilayah administrasi Kabupaten OKI).
Pangeran yang dimaksud adalah pesirah hasil pemilihan langsung, setelah pemerintahan marga dihapus tahun 1848 dan dihidupkan kembali tahun 1860 dengan sistem pemilihan langsung. Diketahui, pada masa ini dilakukan penggantian beberapa bagian rumah, terutama bagian berukir.
Kemudian rumah ini kembali berpindah kepemilikan alias dibeli Pangeran Punto, Pesirah Pemulutan (kini masuk dalam wilayah administrasi Ogan Ilir). Namun kepemilikan rumah oleh Pangeran Punto pun berakhir, ketika rumah tersebut harus dijual lagi.
Seiring dengan pemberlakuan kembali Undang-undang simboer tjahaja yang disempurnakan pemerintah kolonial saat itu, sudah berbentuk Gemeente Palembang berinisiatif membelinya.
Rumah ini kemudian dibangun kembali di tempat semula pada tahun 1932. Lantaran bernilai sejarah, pemerintah menjadikannya museum dan diresmikan pada 22 April 1933. Pada masa kemerdekaan, nama Museum Gemeente diubah menjadi Museum Rumah Bari.
Saat Pemerintah Daerah Tingkat II Kotamadya Palembang memperluas Kantor Wali Kota dan menambah Kantor DPRD Daerah Tingkat II Kotamadya Palembang tahun 1982, museum ini dibongkar.
Materialnya sempat teronggok begitu saja, hingga kemudian Museum Balaputra Dewa (kini Museum Negeri Sumsel) mengambil tindakan penyelamatan dan mendirikannya kembali sebagai koleksi museum.
Rumah Limas ini berukuran panjang 17,5 meter dan lebar 15,7 meter. Berbentuk panggung, terdiri dari kerangka, atap, lantai, dinding, pintu, jendela dan tiang penyangga.
Kerangka menggunakan kayu seru, atap menggunakan genteng model bela booloo. Lantai dan dinding menggunakan kayu unglen, pintu dan jendela kayu tembesu, sementara tiang penyangga menggunakan kayu gelondongan dari jenis kayu pilihan.
Pada bagian atas berbentuk piramida terpenggal dengan kemiringan antara 45 derajat-60 derajat dan menurun ke bagian depan serta belakang, dengan kemiringan sekitar 30 derajat.
Di bagian kanan dan kiri atap rumah bagian atas, terdapat masing-masing empat buah ornamen tanduk kambing. Sementara di kiri dan kanan lerengan atap bagian depan dan belakang terdapat masing-masing lima buah ornamen tanduk kambing.
Lalu pada bagian kiri dan kanan depan rumah, terdapat pintu dan tangga dengan masing-masing anak tangga berjumlah empat buah. Bagian samping kanan dan kiri rumah, terdapat masing-masing empat jendela dan bagian belakang rumah terdapat satu jendela.
Masuk ke dalam rumah, dihiasi dengan motif tumbuhan dengan warna kuning emas, hijau dan merah serta ukiran motif geometri dengan warna biru dan putih.
Lantai rumah mengikuti bentuk atap yang menurun ke bagian depan, terdiri dari empat tingkatan yang disebut dengan bengkilas. Masing-masing bengkilas dibatasi dengan satu keping papan tebal dari jenis kayu unglen yang disebut dengan kekijing.
Tingkat pertama bagian depan, terdapat ruangan yang disebut dengan pagar tenggalung. Di belakang pagar tenggalung terdapat ruangan disebut kiyam. Kemudian di kanan dan kiri tingkatan kedua, terdapat jogan. Selanjutnya terdapat ruang gegajah di tingkatan ketiga.
Rumah Limas Pangeran Abdurrahman Al Habsyi
Rumah Limas kedua koleksi Museum Negeri Sumsel, berdasarkan data Museum adalah milik Pangeran Abdurrahman Al Habsyi. Rumah ini diselamatkan pihak museum dan didirikan saling membelakangi dengan rumah milik Pangeran Syarif Ali dan dihubungkan dengan selasar di kawasan museum.
Rumah inj berukuran panjang 21,5 meter dan lebar 17,9 meter. Berbentuk panggung, terdiri dari kerangka, atap, lantai, dinding, pintu, jendela dan tiang penyangga.
Kerangka menggunakan kayu seru, atap menggunakan genting model bela booloo, lantai dan dinding menggunakan kayu unglen, pintu dan jendela menggunakan kayu tembesu. Pada tiang penyangga menggunakan kayu gelondongan dari jenis kayu pilihan.
Sementara kemiringan bagian atap sama seperti rumah Limas Pangeran Syarief Ali. Pada bagian kiri dan kanan depan rumah terdapat pintu dan tangga, dengan masing-masing anak tangga berjumlah lima buah.
Di bagian samping kanan dan kiri rumah terdapat masing-masing enam jendela dan bagian belakang rumah terdapat satu jendela.
Pada bagian dalam rumah dihiasi motif tumbuhan dengan warna kuning emas. Lantai rumah mengikuti bentuk atap yang menurun ke bagian depan dan terdiri dari tiga tingkatan, disebut dengan bengkilas (bengkilas bawah, bengkilas tengah, bengkilas pucuk). Masing-masing bengkilas dibatasi dengan satu keping papan tebal dari jenis kayu unglen, disebut dengan kekijing.
Tingkat pertama bagian depan, terdapat pagar disebut pagar tenggalung. Setelah pagar tenggalung, terdapat ruangan dengan sebutan kekijing kiyam. Pada bagian ini, terdapat rangkaian papan disebut lawang kipas atau lawang angkatan, terdiri dari beberapa kiyam yang bagian tengahnya terdapat pintu.
Pada kanan dan kiri tingkat kedua terdapat jogan, sementara ruangan tengah disebut gegajah. Dinding pembatas antara gegajah dan pangkeng, terdapat gerobok leket.
Di tingkatan ketiga, terdapat ruangan disebut pedalon. Bagian kanan dan kiri pedalon, terdapat kamar disebut bilik penganten dan bilik jeru.
Lamban Ulu Ogan
Rumah ini berasal dari hibah warga Desa Pengandonan, Kabupaten Ogan Komering Ulu (OKU). Berbentuk panggung berukuran panjang 13,6 meter dan lebar 12,5 meter.
Dinding rumah berbentuk persegi panjang, menggunakan kayu seluha dan merawan, dihiasi ukiran motif sulur-suluran, geometris, roda, bubur talam, pucuk rebung, paruh burung enggang dan motif lainnya.
Atap curam dengan kemiringan sekitar 45 derajat, bagian bubungan kiri dan kanan terdapat tiber angin terbuat dari anyaman bambu. Tiang berbentuk bulat, terbuat dari kayu gehunggang berjumlah 15 batang dan diletakkan di atas tiga buah batu kali. Bagian atas tiang diseping untuk tempat pemasangan kitau, pada salah satu kitau terdapat lambang berbentuk roda.
Bagian lantai rumah terbuat dari bambu yang dijalin dengan rotan. Di bagian depan rumah, terdapat tangga terdiri dari enam anak tangga. Kemudian lintut atau garang yang diberi pagar dengan ukiran motif swastika, pintu dan jendela.
Pada bagian dalam rumah, terbagi atas beberapa ruangan, yaitu pemidangan depan, pemidangan tengah, gedongan, tempuan dan dapur. Diantara ruang pemidangan depan dan tengah, terdapat pintu yang dibuka dari kiri ke kanan dengan ukiran matahari distilisasi di bagian tengahnya.
Di ruang pemidangan tengah, diantara lantainya dipasang kayu sebagai pijakan yang disebut dengan pengerat.
Lantas pada bagian atas ruang pemidangan tengah dan ruang gedongan, terdapat pagu atau tempat penyimpanan barang. Lantai ruang gedongan dibuat lebih tinggi dibandingkan lantai ruangan lainnya.
Terdapat jendela dengan dua arah bukaan ke samping kiri dan kanan, dinamakan jendela ingkap di ruang tempuan. Pada bagian luar (dekat dengan dapur), terdapat tundan. Bagian bawah pintu yang menghubungkan dapur dan tundan dibuat langkahan atau pijakan. (***)