Musi Online https://musionline.co.id 13 June 2025 @09:14 116 x dibaca Oleh: Endang Rahayu
Belum lama ini, masyarakat dikejutkan oleh temuan kerusakan lingkungan akibat aktivitas penambangan nikel di Raja Ampat, Papua Barat Daya. Wilayah yang selama ini dikenal sebagai surga keanekaragaman hayati dunia itu kini tercoreng oleh kegiatan eksploitasi tambang yang menimbulkan kerusakan serius. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah mengonfirmasi adanya pelanggaran serius dalam aktivitas tambang tersebut. Bahkan, pemerintah memutuskan untuk menghentikan sementara operasional tambang nikel ini karena tekanan dan sorotan tajam dari publik serta media.
Penambangan nikel di wilayah yang begitu penting secara ekologis merupakan ancaman nyata bagi ekosistem, flora dan fauna yang dilindungi, bahkan oleh dunia internasional. Wilayah Raja Ampat adalah rumah bagi lebih dari 1.500 spesies ikan dan lebih dari 500 spesies karang. Rusaknya ekosistem ini bukan hanya merugikan masyarakat sekitar, tetapi juga menjadi kerugian besar bagi dunia secara keseluruhan.
Lebih ironis lagi, kerusakan ini terjadi di tengah keberadaan berbagai undang-undang yang seharusnya melindungi kelestarian lingkungan, seperti UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Nyatanya, hukum ini bisa dikesampingkan ketika bertentangan dengan kepentingan pemilik modal. Inilah gambaran saat negara diatur dengan cara pandangan kapitalisme. Kepentingan ekonomi segelintir pengusaha dapat mengalahkan kepentingan rakyat dan keberlanjutan alam.
Dalam sistem kapitalisme, sumber daya alam (SDA) dipandang sebagai komoditas yang dapat dieksploitasi demi keuntungan. Negara seringkali hanya bertindak sebagai fasilitator investasi, bukan pelindung kepentingan rakyat. Dalam konteks ini, pengusaha tambang bisa memiliki kuasa lebih besar dari negara, bahkan mampu menekan kebijakan demi melanggengkan usahanya. Hal inilah yang menyebabkan kerusakan terus terjadi, meskipun secara hukum seharusnya tidak diperbolehkan.
Pandangan Islam terhadap Pengelolaan SDA
Islam memiliki pandangan yang sangat khas dan berkeadilan dalam pengelolaan sumber daya alam. Dalam pandangan Islam, SDA seperti tambang, hutan, laut, dan air adalah milik umum (milkiyyah ‘ammah). Rasulullah SAW bersabda, "Kaum Muslimin berserikat dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api." (HR. Abu Dawud). Hadis ini menjadi dasar bahwa SDA bukan milik individu atau korporasi, tetapi milik bersama yang dikelola negara untuk kemaslahatan rakyat.
Dengan demikian, pengelolaan tambang seharusnya tidak diserahkan kepada swasta atau asing. Negara harus hadir sebagai pengelola langsung (muna??im), memastikan bahwa hasil dari SDA ini dikembalikan sepenuhnya kepada rakyat dalam bentuk layanan publik seperti pendidikan, kesehatan, dan pembangunan infrastruktur yang merata. Pengelolaan ini dilakukan bukan untuk mengejar keuntungan, tetapi sebagai bentuk amanah yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT.
Konsep Hima dan Pelestarian Lingkungan
Islam juga memiliki konsep perlindungan lingkungan yang disebut hima. Hima adalah kawasan yang dilindungi dari eksploitasi demi menjaga kelestarian ekosistem. Konsep ini sangat relevan diterapkan pada wilayah seperti Raja Ampat, yang merupakan kawasan dengan nilai ekologis tinggi. Dalam sejarahnya, Rasulullah dan para khalifah menerapkan hima untuk melindungi padang gembalaan, sumber air, dan kawasan hutan dari eksploitasi yang berlebihan.
Islam menetapkan bahwa menjaga lingkungan adalah bagian dari tanggung jawab manusia sebagai khalifah di bumi. Allah SWT berfirman,
“Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya...” (QS. Al-A’raf: 56)
Ayat ini menjadi dasar penting bahwa setiap aktivitas manusia harus mempertimbangkan dampaknya terhadap alam. Islam menuntut keseimbangan (m?z?n) dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal pengelolaan alam.
Peran Pemimpin dalam Sistem Islam
Dalam sistem Islam, pemimpin (khalifah) bukan sekadar pejabat administratif, tetapi pelindung rakyat dan pengelola sumber daya. Ia berkewajiban menjalankan syariat Islam secara menyeluruh, termasuk dalam pengaturan ekonomi dan lingkungan. Seorang khalifah tidak bisa diintervensi oleh kepentingan asing atau korporasi, karena kekuasaannya berasal dari amanah umat untuk menjalankan hukum Allah SWT.
Pemimpin dalam Islam akan menolak segala bentuk eksploitasi yang merusak lingkungan. Ia akan menerapkan pengawasan ketat terhadap pemanfaatan SDA, memastikan tidak ada aktivitas yang melanggar syariat, merugikan rakyat, atau merusak alam.
Demikianlah syariat Islam mengatur pengelolaan sumber daya alam agar memberikan manfaat dan kebaikan bagi umat. Sebaliknya, pengelolaan yang tidak sesuai dengan aturan Allah SWT akan mendatangkan kerusakan bagi alam dan memberikan dampak buruk bagi manusia.
0 Komentar