Musionline.co.id, Palembang - Mantan Gubernur Sumatera Selatan (Sumsel) Alex Noerdin dan Muddai Madang, terdakwa dugaan korupsi pembangunan Masjid Sriwijaya menjalani sidang di Pengadilan Tipikor, Palembang, Kamis (31/3/2022).
Dilansir koransn.com, pada persidangan Alex Noerdin menjelaskan, kalau dirinya pernah mengingatkan panitia pembangunan Masjid Sriwijaya dan pihak Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya untuk berhati-hati mengelola uang pembangunan Masjid Sriwijaya.
“Saat itu saya sudah sampaikan hati-hati mengelola uang, karena uang tersebut uang masjid,” kata Alex yang mengikuti persidangan secara virtual dari Rutan Pakjo Palembang.
Mantan orang nomor satu di Sumsel ini juga mengatakan, dirinya yang menyarankan kepada Marwah M Diah agar panitia pembangunan Masjid Sriwijaya berasal dari Dinas PUCK Provinsi Sumsel.
Menurutnya, saat itu Ketua Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Marwah M Diah menemuinya dan meminta saran, siapa yang bagus dijadikan panitia pembangunan Masjid Sriwijaya.
Alex pun menyampaikan, jika Eddy Hermanto memiliki banyak pengalaman dalam pembangunan dan akan purna tugas atau pensiun dari Kepala Dinas PUCK Sumsel. Marwah pun mengikuti saran tersebut, lalu memilih Eddy Hermanto menjadi ketua panitia pembangunan Masjid Sriwijaya.
Muddai : Menjaga Dana Hibah Sesuai Peruntukan
Sementara terdakwa Muddai Madang mantan Bendahara Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya mengaku, sebagai bendahara berusaha sebisa mungkin menjaga agar dana hibah Masjid Sriwijaya digunakan sesuai peruntukannya.
Ia menjelaskan, saat menjabat bendahara telah melakukan pembayaran dana hibah tahun 2015 senilai Rp50 miliar. Ada tiga pembayaran yang dilakukan, yaitu pembayaran ke PT Indah Karya sebagai konsultan pengawas Rp1 miliar lebih. Kemudian pembayaran uang muka pembangunan Masjid Sriwijaya ke kontraktor PT Brantas Abipraya Rp48 miliar dan pembayaran kepada panitia pembangunan Rp240 juta. Dan ketiga pembayaran ini, semua sudah tercantum dalam Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).
Dilanjutkannya, terkait pembayaran uang muka ke PT Brantas Abipraya Rp4 miliar, proses pencairan sempat dibatalkan karena ada kesalahan cek saat hendak dicairkan. Lalu dibuatkan cek baru yang ditandatangani Marwah M Diah hingga uang muka Rp48 miliar bisa dicairkan oleh pihak kontraktor.
"Untuk pembayaran uang muka tersebut dilakukan karena sesuai kontrak, jika uang muka dibayarkan 10 persen," ungkapnya.
Menurut Muddai, saat proses pembayaran yang kala itu menjabat bendahara, bersama Marwah M Diah memeriksa dokumen yang telah diverifikasi.
“Saya bersama saksi Marwah M Diah mengecek dokumen yang sudah diverifikasi untuk melakukan pembayaran kepada kontraktor,” tuturnya.
Marwah : Tidak Ada Proposal
Hadir secara virtual sebagai saksi sidang atas terdakwa Alex Noerdin dan Muddai Madang, mantan Ketua Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya Marwah M Diah mengaku, ia bersama pihak Yayasan Wakaf sempat mengirimkan surat kepada Pemerintah Provinsi (Pemprov) Sumsel menagih janji pemberian bantuan dana hibah untuk pembangunan Masjid Sriwijaya.
Menurutnya, pihaknya telah menyampaikan jika meminta bantuan untuk membangun Masjid Sriwijaya dan permintaan diterima Pemprov Sumsel, namun bantuan dana hibah tak kunjung diberikan. Dari itulah, pihaknya membuat surat pengajuan untuk menagih janji pemberian bantuan dana hibah dan ditandatanganinya.
Kemudian dirinya dan pihak Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaua melakukan pertemuan dengan Gubernur Sumsel kala itu (Alex Noerdin).
Pada pertemuan, pihaknya menyampaikan, yayasan akan mendapatkan bantuan untuk pembangunan Masjid Sriwijaya dengan jumlah bantuan dana hibah sesuai kemampuan Pemprov Sumsel.
Tidak lama setelah pertemuan, pihak Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya diminta untuk menandatangani NPHD terkait bantuan dana hibah pembangunan Masjid Sriwijaya, tahun 2015 berjumlah Rp50 miliar dan 2017 senilai Rp80 miliar.
“Dalam NPHD saya ikut tandatangan. Sebab katanya NPHD harus ditandatangani karena syarat untuk mendapatkan bantuan dana hibah guna membangun Masjid Sriwijaya. Dikarenakan ini untuk kepentingan umat, maka saya menandatangani NPHD tersebut,” ungkapnya.
Diakui Marwah, setelah dilakukan penandatanganan NPHD barulah Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya mendapat bantuan dana hibah dari Pemprov Sumsel.
“Saat itu kami tidak pernah mengajukan proposal, yang ada hanyalah surat pengajuan permohonan bantuan saja. Jadi, sejak awal memang tidak ada proposal Masjid Sriwijaya,” tegasnya.
Lebih jauh diungkapkannya, dana hibah tahun 2015 sebesar Rp 50 miliar dan tahun 2017 sebesar Rp 80 miliar dengan total Rp 130 miliar tersebut, semuanya telah habis digunakan untuk membayar pembangunan Masjid Sriwijaya.
“Totalnya Rp 130 miliar, dan semua uangnya sudah habis digunakan untuk membayar uang muka kontraktor PT Brantas Abipraya, membayar pekerjaan pembangunan termin 1,2 dan termin 3, untuk membayar PT Indra karya selaku konsultan. Jadi, kami pengurus yayasan hanya membayar tagihan pembangunan masjid yang dasar pembayarannya, terdiri dari; berkas tagihan dari kontraktor, berkas hasil verifikasi Tim Panitia Pembangunan, kemudian nilai yang dibayarkan sesuai dengan yang tercantum dalam NPHD,” tegasnya lagi.
Sementara terkait jika ada permasalahan di pembangunan Masjid Sriwijaya, hal tersebut merupakan tanggungjawab dari panitia pembangunan.
“Selain itu, kami juga tidak tahu uang yang telah dibayarkan yayasan ke kontraktor digunakan untuk apa. Sebab kami melakukan pembayaran sesuai kelengkapan dokumen, jika dokumen sudah lengkap dan sesuai dengan yang tercantum dalam NPHD, maka kami bayarkan. Karena tidak ada lagi alasan kalau kami menahan pembayaran ke kontraktor,” urainya.
Pemberian Dana Hibah, Lahan dan Perda Salahi Aturan
Firman Ajuni selaku pihak Inspektorat Sumsel yang hadir menjadi saksi disidang terdakwa Alex Noerdin dan Muddai Madang mengungkapkan dari hasil pemeriksaan, Tim Inspektorat Sumsel menemukan jika pemberian hibah lahan Masjid Sriwijaya, pemberian dana hibah Masjid Sriwijaya, hingga Perda Nomor 13 Tahun 2014 tentang pembanguan Masjid Sriwijaya menyalahi aturan.
“Dimana untuk hibah lahan seluas sembilan hektar menyalahi aturan, karena hasil pemeriksaan ditemukan jika lahan yang dijadikan lokasi pembangunan Masjid Sriwijaya di kawasan Jakabaring tidak clean and clear. Sebab lahan tersebut bersengketa antara Pemprov Sumsel dengan masyarakat. Bahkan hasil putusan MA menyatakan tujuh hektar di lahan tersebut milik masyarakat, sehingga hanya dua hektar lahan yang merupakan milik Pemprov,” ungkapnya.
Kemudian untuk pemberian dana hibah tahun 2015 sebesar Rp50 miliar dan tahun 2017 berjumlah Rp80 miliar menyalahi aturan karena tidak ada proposal dari pihak Yayasan Wakaf Masjid Sriwijaya.
“Kami juga menemukan pelanggaran, jika NPHD dana hibah Masjid Sriwijaya tidak dilakukan verifikasi. Jadi terkait dana hibah tahun 2015 dan 2017 tersebut diberikan dengan menyalahi aturan. Begitupun proses pencairannya juga menyalahi aturan,” ungkapnya lagi.
Lalu terkait Perda Nomor 13 Tahun 2014 tentang pembanguan Masjid Sriwijaya menyalahi aturan karena hasil pemeriksaan Inspektorat, ada peraturan yang tidak dicantumkan di dalam Perda.
“Peraturan yang tidak dicantumkan di dalam Perda, yakni PP Nomor 27 Tahun 2014 tentang pengelolaan dan pemindahan barang milik negara berupa tanah dan bangunan yang tidak memerlukan persetujuan DPRD apabila untuk kepentingan umum, yakni tempat ibadah. Selain itu di Perda tersebut juga tertera jika lahan yang dihibahkan ke yayasan seluas 15 hektar. Nah, terkait hal tersebut sampai saat ini Perda tentang pembangunan Masjid Sriwijaya belum dilakukan revisi,” jelasnya. (***)