Musionline.co.id, Jakarta - Penolakan beberapa Gubernur untuk melantik penjabat Bupati/Wali Kota usulan Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terjadi lantaran pemerintah pusat tidak memiliki aturan teknis mekanisme pemilihan penjabat kepala daerah.
Dilansir Kronologi.id, pernyataan di atas dikatakan Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Armand Suparman, Selasa (24/5/2022).
Menurutnya, peristiwa tersebut bersumber dari ketiadaan regulasi teknis sebagaimana yang diamanatkan putusan Mahkamah Konstitusi (MK).
Padahal, sebelumnya Ketua DPR RI Puan Maharani pernah mengingatkan pemerintah agar pemilihan penjabat kepala daerah dilakukan secara selektif. Puan juga meminta Pemerintah melakukan proses seleksi secara transparan dan terbuka bagi partisipasi publik.
Puan pun berharap Pemerintah cermat dalam proses penyaringan dan menetapkan Penjabat daerah dengan kemampuan yang sesuai dengan karakteristik daerah. Ini penting sekali bagi Pemerintah menetapkan Penjabat Kepala Daerah yang memahami kebutuhan sosial dan ekonomi di daerah yang akan dipimpinnya.
Armand melanjutkan, sampai hari ini pemerintah belum menjalankan putusan MK yang memandatkan pembentukan aturan teknis untuk pengisian penjabat kepala daerah sesuai putusan MK Nomor 67/PUU-XX/2022.
“Berhadapan dengan situasi ini, KPPOD mendorong kepada pemerintah pusat untuk segera mengeluarkan regulasi itu. Apakah itu nanti permendagri atau lebih kuat lagi dalam peraturan pemerintah misalnya, tapi regulasi teknis itu harus ada,” tegasnya.
Ia menyarankan, agar pemerintah mengambil langkah persuasif guna menyelesaikan polemik penolakan Gubernur melantik penjabat bupati.
“Kita dorong pemerintah pusat untuk mengambil langkah persuasif karena memang kalau mengambil langkah tegas, yang menjadi pertanyaan, regulasi mana yang dirujuk,” tegasnya lagi.
Ia khawatir jika masalah tersebut tidak segera diselesaikan akan menjadi contoh bagi Gubernur lain.
“Karena yang kita khawatirkan nanti ke depan, ini bisa diambil contoh oleh Gubernur-gubernur yang lain,” ujarnya.
Hal senada diungkapkan peneliti senior BRIN Siti Zuhro. Ia mengatakan, penolakan atas calon penjabat pilihan Mendagri sudah diprediksi sebelumnya.
“Jangan sampai resistensi dari satu dua daerah akan menjadi resistensi secara kolektif. Ini artinya daerah sudah mulai berontak terhadap pemerintah pusat yang dianggap semena-mena. Seolah menafikan bagaimana demokrasi partisipatoris yang telah dilalui oleh mereka dengan susah payah, lalu rekrutmen penjabat bertahun-tahun atas nama mereka saja,” ungkapnya.
Selain itu, dalam pemilihan Pj kepala daerah, pemerintah tidak memiliki payung hukum.
“MK mintakan Kemendagri untuk membuat aturan pelaksana untuk jadi rujukan, nah itu belum dibikin,” ungkapnya lagi.
Sementara pakar otonomi daerah Djohermansyah Djohan mengungkapkan, pelantikan penjabat bisa dilakukan oleh Mendagri ketika terjadi penolakan.
“Itu penyelesaiannya di dalam aturan-aturan di Kemendagri, UU, itu pelantikannya dapat dilakukan oleh Mendagri. Artinya supaya jangan ada kekosongan kekuasaan,” katanya.
Djohermansyah menyarankan, agar dibuat panitia seleksi (pansel) tingkat Provinsi atau Pusat dengan melibatkan pihak independen, ahli, bahkan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN).
“Supaya jangan terjadi lagi. Aturan main, regulasi dalam pengangkatan, penunjukan penjabat sebaiknya dilakukan secara terbuka, transparan, dan menggunakan prinsip demokrasi dalam konteks birokrasi,” tambahnya.
Pansel itu akan merumuskan tiga nama yang dijaring lewat mekanisme lelang. Nama itu diumumkan pada publik dan juga dikonsultasikan pada pimpinan DPRD Provinsi untuk penjabat gubernur dan DPRD Kabupaten/Kota untuk bupati/walikota.
Kemudian juga disediakan waktu jeda untuk publik bisa memberi masukan terkait nama-nama tersebut. Barulah kemudian diserahkan pada pejabat yang berwenang untuk dipilih. Menurutnya, hal itu sesuai dengan mandat Mahkamah Konstitusi. (***)