Musionline.co.id, Palembang - Nama Penjabat (Pj) Bupati Kabupaten Musi Banyuasin (Muba) Apriyadi ikut terseret pusara kasus dugaan fee proyek di Dinas PUPR Kabupaten Muba.
Hal ini terungkap, ketika terdakwa Herman Mayori selaku Kadis PUPR Muba dan Eddy Umari selaku Kabid SDA Dinas PUPR Muba membacakan pembelaan (pledoi) di ruang sidang pengadilan Tipikor Palembang, Kamis (23/6/2022).
Dalam pembelaannya, terdakwa Herman Mayori dan Eddy Umari kompak dan detail menyebut, Apriyadi yang ketika itu menjabat Sekretaris Daerah (Sekda) Kabupaten Muba sering meminta jatah untuk kebutuhan di luar kedinasan.
Herman Mayori saat membacakan pembelaannya, mengaku selama menjadi Kadis PUPR Muba selain memenuhi permintaan Bupati, juga memenuhi kebutuhan dan permintaan Sekda Muba.
"Saat menjadi Kepala Dinas yang mulia, saya dibebankan utang yang terjadi pada 2016 senilai kurang lebih Rp3 miliar dan harus dibayar. Ini menjadi beban saya dan seluruh PPK hingga tertangkap tangan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)," ungkapnya.
Ia melanjutkan, pada tahun 2021, Sekda Muba meminta kepadanya secara langsung uang untuk memenuhi permintaan pribadi di luar pemerintahan. Ketika itu, Sekda meminta bantuan untuk urusan keluarga Rp250 juta. Kemudian Herman Mayori memerintahkan terdakwa Eddy Umari (berkas terpisah) untuk memenuhi dan menyelesaikan permintaan tersebut.
“Yang Mulia, selama saya menjabat Kepala Dinas baik sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Kadis PUPR dan defenitif Kadis PUPR, saya selalu ada permintaan-permintaan bertahap oleh Sekda yang haruskan saya melakukan penyimpangan,” ungkapnya lagi.
Sebelumnya, terdakwa Eddy Umari saat membacakan pembelaannya menjelaskan, tidak fokus bekerja kecuali hanya memenuhi "permintaan".
“Sebenarnya tugas saya untuk mencari jalan memenuhi permintaan yang berimbas pada mutu pekerjaan. Setiap tahunnya saya pribadi dan kawan-kawan selalu khawatir apabila tim audit BPK mengecek pekerjaan di lapangan dan selalu bermasalah pada Aparat Penegak Hukum,” katanya di hadapan Hakim secara virtual.
Terdakwa Eddy Umari menyampaikan fakta sebenarnya perihal pengamanan bersumber dimana letak permasalahan, mengapa ia dan Dinas PUPR Muba selalu berurusan dengan aparat penegak hukum. Itu terkait pengamanan dikarenakan permintaan Bupati dan Sekda.
Karena permintaan-permintaan itulah, sehingga pekerjaan tidak tercapai mutu. Ia pun selalu menghadapi risiko hukum lantaran permintaan-permintaan yang harus diselesaikan.
“Bagaimana cara saya menolak permintaan pengamanan, karena fakta pekerjaan memang bermasalah. Saya tidak ada jalan lain selain penuhi agar saya tidak berurusan sama hukum,” katanya lagi.
Terdakwa Eddy Umari mengakui perbuatan yang dilakukannya salah, namun itu dilakukan terpaksa karena adanya permintaan-permintaan itu.
“Saya sudah sampaikan dalam fakta persidangan, ada perihal yang pernah saya sampaikan dalam memenuhi permintaan pejabat eselon tertinggi atau Sekda,” tegasnya.
Ia melanjutkan, ini sudah disampaikannya dalam Berkas Acara Pemeriksaan (BAP) saat diperiksa penyidik KPK. Dan disampaikannya dengan sebenar-benarnya dalam pledoi.
“Bahwa sebelum kejadian menimpa saya tanggal 15 Oktober 2021, saya diperintahkan atasan saya memenuhi mengatasi permintaan Sekda sebesar Rp250 juta, namun saya realisasikan sebesar Rp200 juta,” tegasnya lagi.
Dihadapan Majelis Hakim dan Jaksa Penuntut Umum (JPU), terdakwa Eddy Umari mengakui, jika jujur terhadap hati nurani, akan sependapat bahwa sungguh tidak masuk akal jika terdakwa Eddy sengaja melanggar ketentuan untuk melakukan penyimpangan, melainkan keterpaksaan memenuhi semua permintaan-permintaan pejabat tersebut.
“Saya masih yakin dan percaya, serta berbesar hati bahwa pengadilan ini adalah tempat mencari keadilan, bukan ketidakadilan apalagi penghukuman. Maka dengan alasan ini pula, saya mohon sudilah kiranya Majelis Hakim menolak/mempertimbangkan atas tuntutan JPU dengan menyatakan, bahwa tuntutan tersebut bukan untuk keadilan, melainkan untuk penghukuman bagi saya,” tutupnya. (***)