Musi Online | Wacana MUI Pangkas Masa Tinggal Jemaah Haji Jadi 20 Hari Mendapat Respon dari Muhammadiyah
Hut sumsel
Home        Berita        Nasional

Wacana MUI Pangkas Masa Tinggal Jemaah Haji Jadi 20 Hari Mendapat Respon dari Muhammadiyah

Musi Online
https://musionline.co.id 25 May 2025 @18:36
Wacana MUI Pangkas Masa Tinggal Jemaah Haji Jadi 20 Hari Mendapat Respon dari Muhammadiyah
Wacana MUI Pangkas Masa Tinggal Jemaah Haji Jadi 20 Hari Mendapat Respon dari Muhammadiyah.

Musionline.co.id, Jakarta - Wacana pemangkasan masa tinggal jemaah haji Indonesia di Arab Saudi kembali mencuat ke permukaan. 
Gagasan ini disuarakan oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui Ketua MUI Bidang Dakwah dan Ukhuwah, KH Cholil Nafis. 
Ia mengusulkan agar durasi masa tinggal jemaah haji dipangkas menjadi hanya 20 hari dari sebelumnya rata-rata mencapai 40 hari.
Alasan utama usulan tersebut adalah efisiensi biaya pelaksanaan ibadah haji yang setiap tahunnya terus mengalami peningkatan. 
Menurut Cholil, ibadah haji secara prinsip hanya membutuhkan waktu enam hari, bahkan jika ditambahkan dengan beberapa amalan sunnah seperti salat arbain di Madinah, waktu 20 hari dinilai sudah sangat mencukupi.
“Jadi kalau 17 atau 20 hari itu sudah cukup, dengan tambahan seminggu bagi yang mau ambil salat arbain di Madinah. Saya kira itu akan lebih murah,” ujar Cholil Nafis, Minggu (25/05/2025).
Respons Muhammadiyah: Perlu Pengkajian Serius dan Kolektif
Menanggapi wacana ini, Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, Prof. Dr. Haedar Nashir, memberikan pandangan yang lebih berhati-hati. 
Menurutnya, gagasan pemangkasan masa tinggal jemaah haji harus dikaji secara menyeluruh karena pelaksanaan ibadah haji sangat kompleks dan penuh tantangan teknis.
“Itu kan usulan yang perlu dikaji secara saksama dan dalam tempo yang lama. Karena haji itu ibadah dengan banyak titik krusial, banyak titik kritis, bahkan darurat,” ujar Haedar dalam keterangannya di Yogyakarta.
Ia menekankan bahwa setiap kebijakan terkait haji tidak bisa diambil secara sepihak, melainkan harus dikaji bersama oleh berbagai pihak, termasuk Kementerian Agama, MUI, ormas Islam, dan tentu saja DPR sebagai pemegang otoritas kebijakan publik.
“Mau 20 hari, 30 hari, dan seterusnya, itu nanti harus dikaji bersama. Jangan sampai malah menimbulkan ketidaknyamanan bagi jemaah,” tambah Haedar.
Faktor Sosial dan Keberagaman Madzhab Perlu Dipertimbangkan
Lebih lanjut, Haedar menyoroti aspek sosial masyarakat Indonesia yang masih kental dengan budaya paguyuban. 
Hal ini, menurutnya, turut mempengaruhi dinamika pelaksanaan haji di lapangan. 
Tidak sedikit jemaah yang masih menganut paham tertentu seperti menjalankan salat arbain (40 waktu salat berjamaah di Masjid Nabawi), sehingga pemangkasan waktu tinggal bisa berpotensi menimbulkan resistensi.
“Yang ketiga, kan juga ada yang bermadzhab untuk arbain segala macam. Jadi harus dikaji. Kalau memang bagus, ya nanti ditetapkan bersama,” ucapnya.
Ia juga menyinggung pengalaman masa lalu terkait implementasi sistem syarikah (usaha bersama) yang awalnya memiliki niat baik, namun di lapangan kerap menghadapi perubahan persepsi dari masyarakat.
“Coba sistem syarikah misalkan. Niatnya bagus. Sistemnya bagus. Tapi persepsi masyarakat bisa berubah,” jelas Haedar.
Jalan Tengah Melalui Musyawarah
Wacana pemangkasan masa tinggal jemaah haji menjadi 20 hari membuka ruang diskusi yang luas di tengah masyarakat. 
Satu sisi, efisiensi biaya menjadi dorongan utama, namun di sisi lain, aspek kenyamanan, pemahaman madzhab, dan kearifan lokal tidak bisa dikesampingkan. 
Oleh karena itu, diperlukan pendekatan musyawarah mufakat agar keputusan yang diambil dapat diterima secara luas dan tetap mengutamakan kemaslahatan umat. (***)



Tinggalkan Komentar Anda


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *



0 Komentar

Maroko
Top