Musi Online https://musionline.co.id 12 July 2025 @19:51 14 x dibaca 
Lahan Produktif Tergusur demi Proyek PLTU Sumsel 1: Perekonomian Masyarakat Muara Enim Terancam.
Musionline.co.id, Muara Enim - Megahnya pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN) Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Sumsel 1 Mulut Tambang, menyimpan kisah pilu yang tengah dirasakan masyarakat Desa Tanjung Menang dan Desa Jemenang, Kecamatan Niru, Kabupaten Muara Enim.
Ribuan hektare lahan produktif yang selama ini menjadi sumber utama perekonomian warga, kini terancam hilang ditelan proyek pertambangan batubara.
PT Cakra Bumi Energi, pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Mulut Tambang Batubara untuk PLTU Sumsel 1, tercatat memiliki wilayah konsesi seluas 9.815 hektare.
Ironisnya, sebagian besar area tersebut merupakan kebun sawit, karet, dan lahan palawija milik masyarakat setempat.
Lahan ini menjadi urat nadi ekonomi ribuan kepala keluarga yang menggantungkan hidup dari hasil perkebunan dan pertanian.
"Penghidupan masyarakat selama ini dari sektor kebun dan pertanian terancam hilang dalam hitungan hari. Ini semua akibat proyek strategis nasional PLTU Sumsel 1 Mulut Tambang," ungkap Satria, Ketua Posko Rumah Merdeka, saat ditemui wartawan pada Jumat (11/07/2025).
Harga Ganti Rugi Dinilai Tidak Manusiawi
Satria menjelaskan, masalah utama yang membuat warga semakin resah adalah tawaran harga ganti rugi dari perusahaan yang jauh dari kata adil. PT Cakra Bumi Energi disebut hanya menawarkan kompensasi sebesar Rp 25.000 per meter persegi atau setara Rp 250 juta per hektare.
Padahal, menurut perhitungan warga, pendapatan bulanan dari kebun sawit bisa mencapai Rp 10 juta per hektare, sedangkan kebun karet menghasilkan sekitar Rp 7,2 juta per hektare.
Jika diakumulasi, pendapatan tahunan dari kebun sawit saja mencapai Rp 120 juta, belum termasuk keuntungan jangka panjang yang terus mengalir selama puluhan tahun.
"Hitung-hitungan ini sungguh mencederai akal sehat. Harga ganti rugi yang ditawarkan bahkan tidak sebanding dengan satu tahun panen masyarakat," jelas Satria dengan nada geram.
Ia menegaskan, yang diminta masyarakat bukanlah harga fantastis, melainkan nilai yang manusiawi dan adil.
Masyarakat berharap bisa mendapatkan harga ganti untung minimal Rp 250.000 per meter persegi, agar mereka dapat membangun sumber penghidupan baru pasca kehilangan lahan lama.
Masyarakat Resah Masa Depan Suram
Hingga kini, keresahan terus menyelimuti warga Desa Tanjung Menang dan Desa Jemenang. Banyak keluarga yang masih menunggu kepastian nasib tanah mereka, sementara aktivitas proyek terus berjalan.
"Kami hanya ingin harga yang wajar agar bisa memulai usaha baru. Kalau lahannya sudah hilang tapi ganti rugi kecil, kami mau makan apa? Mau sekolahin anak pakai apa?" keluh seorang warga yang enggan disebut namanya.
Masyarakat kini menggantungkan harapan pada pemerintah Provinsi Sumatera Selatan dan Pemerintah Kabupaten Muara Enim untuk turun tangan.
Mereka mendesak agar kedua pemerintah daerah tersebut ikut memfasilitasi musyawarah dengan perusahaan dan memastikan suara rakyat kecil didengar sebelum memutuskan masa depan hidup mereka.
Lebih dari Sekadar Konflik Lahan
Menurut Satria, masalah ini bukan hanya sekadar persoalan ganti rugi lahan. Namun, ini adalah pertarungan antara pemenuhan kebutuhan energi nasional dengan hak hidup masyarakat lokal yang selama ini menjadi penopang ketahanan pangan dan ekonomi daerah.
"Jangan biarkan lumbung energi di Sumsel dibangun di atas penderitaan dan penggusuran masyarakat secara tidak adil," tegasnya.
Ia mengingatkan, PLTU Sumsel 1 yang dibangun dengan konsep mulut tambang memang strategis untuk menekan biaya produksi listrik.
Namun hal tersebut tidak boleh mengorbankan hak-hak masyarakat setempat yang lahannya diambil secara sepihak dengan harga yang tidak manusiawi.
Masalah lainnya yang menghantui warga adalah rasa takut akan masa depan pekerjaan. Ada kekhawatiran besar bahwa setelah kehilangan lahannya, mereka juga tidak akan mendapatkan peluang kerja di PLTU Sumsel 1.
Hal ini disampaikan Sumarlan, Koordinator Advokasi Sumsel Bersih. Ia menilai, investasi sebesar ini seharusnya membawa kesejahteraan bagi masyarakat sekitar, bukan malah memaksa mereka hengkang dari tanah leluhur yang menjadi sumber hidup sejak turun-temurun.
"Yang dikhawatirkan masyarakat, lahan sudah hilang, kerja di PLTU pun tidak dapat. Akhirnya masyarakat hanya menanggung dampak negatif dari sebuah investasi besar," tutur Sumarlan.
Sumarlan mendesak agar pemerintah daerah segera mengintervensi PT Cakra Bumi Energi.
Ia meminta perusahaan bersikap terbuka, transparan, dan mau mengedepankan musyawarah mufakat dengan masyarakat untuk menentukan harga ganti untung yang layak.
"Terutama untuk lahan yang sudah masuk dalam IUP PT Cakra Bumi Energi, perusahaan harus duduk bersama dengan masyarakat. Supaya mereka bisa menata sumber ekonomi baru dan tidak menjadi korban proyek besar," lanjut Sumarlan.
Ia berharap, proses ini bisa menjadi contoh tata kelola investasi yang berkeadilan sosial. Jangan sampai Sumatera Selatan yang dikenal sebagai salah satu lumbung energi nasional justru menyisakan luka sosial yang dalam.
Kisah warga Desa Tanjung Menang dan Desa Jemenang ini sejatinya menjadi potret buram pembangunan yang kerap mengabaikan dimensi kemanusiaan.
Proyek strategis nasional semestinya berjalan dengan prinsip keberlanjutan, bukan hanya dari sisi lingkungan, tetapi juga keberlanjutan ekonomi masyarakat lokal.
Jika suara rakyat tidak lagi menjadi panglima, maka pembangunan sebesar apa pun akan menyisakan bara dalam sekam yang siap meledak kapan saja.
"Kami hanya ingin hidup tenang. Kalau tanah kami diambil, tolong hargai kami secara manusiawi. Supaya kami bisa bangkit lagi, tidak menjadi pengangguran atau justru miskin di tanah sendiri," kata seorang petani sawit yang terlihat menahan tangis.
Kini, seluruh mata masyarakat Sumatera Selatan tertuju pada pemerintah provinsi dan kabupaten, menunggu apakah mereka akan memihak pada kepentingan rakyat atau sekadar menjadi saksi bisu ambisi pembangunan tanpa nurani. (***)
0 Komentar