Musi Online https://musionline.co.id 26 July 2025 @19:20 36 x dibaca 
Kasus OTT di Lahat: Penyidik Kejati Sumsel Tetapkan Dua Kades Tersangka Kasus Korupsi Pemerasan, Kuasa Hukum Sebut Tradisi Tahunan.
Musionline.co.id, Lahat - Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sumatera Selatan kembali mengungkap praktik korupsi yang mengakar hingga ke tingkat desa.
Kali ini, dua Kepala Desa (Kades) dari Kecamatan Pagar Gunung, Kabupaten Lahat, resmi ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan pemerasan dana desa yang mencuat melalui Operasi Tangkap Tangan (OTT) yang digelar pada akhir Juli 2025 lalu.
Kedua Kades tersebut yakni Nahudin (N), yang menjabat sebagai Ketua Forum Perangkat Desa Kabupaten Lahat, serta Jonidi Sohri (JS), yang merangkap sebagai bendahara forum tersebut.
Penetapan tersangka ini diumumkan langsung oleh Asisten Pidana Khusus (Aspidsus) Kejati Sumsel, Dr. Adhryansah, SH, MH, dalam konferensi pers yang digelar pada Jumat, 25 Juli 2025.
Kuasa Hukum Ungkap Tradisi Tahunan Menjelang 17 Agustus
Tak lama setelah penetapan tersangka, muncul fakta baru dari pernyataan kuasa hukum kedua Kades. Rizal Syamsul, SH, menyebut bahwa praktik pungutan dana desa ini bukanlah inisiatif personal, melainkan sudah menjadi “tradisi tahunan” yang terjadi secara sistemik.
“Klien kami menyatakan bahwa praktik semacam ini sudah berlangsung bertahun-tahun, terutama menjelang peringatan HUT RI. Dana desa dikumpulkan secara kolektif dari para kades dan diberikan kepada pihak tertentu,” jelas Rizal saat diwawancarai Sabtu, 26 Juli 2025.
Rizal menambahkan bahwa berdasarkan keterangan dari kliennya, ada sekitar 20 kepala desa lain yang juga terlibat dalam praktik serupa.
“Ini bukan perbuatan individu, tapi sudah seperti sistem yang berjalan setiap tahun. Bahkan ada istilah dana ‘untuk APH’ dalam dokumen forum, meski belum disebutkan siapa oknumnya,” tambah Rizal.
Pernyataan kuasa hukum tersebut tentu menambah sorotan tajam dari publik. Kasus ini membuka mata banyak pihak bahwa korupsi tidak hanya terjadi di level atas, melainkan juga telah mengakar hingga ke struktur pemerintahan desa.
Wacana bahwa praktik pungli dilakukan secara kolektif, dan bahkan menyasar oknum aparat hukum, menjadi peringatan keras bagi aparat penegak hukum untuk bertindak objektif, transparan, dan tuntas dalam menuntaskan kasus ini.
Pakar hukum pidana dari Universitas Sriwijaya, Dr. Endra Mulyadi, menyebut bahwa jika benar praktik ini dilakukan oleh puluhan kades dan mendapat perlindungan dari oknum APH, maka ini sudah masuk kategori korupsi terstruktur dan sistemik.
“Penegak hukum harus berani menelusuri aliran dana dan membongkar jaringan ini hingga ke akar. Jangan berhenti pada dua orang, karena jika benar ini sistemik, maka harus dihentikan total,” ujarnya.
Pengawasan Dana Desa Perlu Diperketat
Kasus ini menjadi pelajaran penting bahwa pengawasan terhadap dana desa harus diperkuat, baik dari sisi regulasi, pendampingan, hingga transparansi pelaporan.
Dana desa yang ditransfer oleh pemerintah pusat tiap tahun nilainya bisa mencapai ratusan miliar, dan sangat rentan disalahgunakan apabila tidak diawasi dengan baik.
Pemerintah daerah bersama instansi terkait diimbau agar:
Melibatkan inspektorat internal dan masyarakat desa dalam pengawasan anggaran
Mewajibkan setiap kepala desa membuat laporan realisasi kegiatan secara terbuka dan online
Meningkatkan pelatihan integritas dan manajemen keuangan desa.
Modus Pemerasan Berkedok Kegiatan Sosial
Dalam penjelasannya, Adhryansah menyebutkan bahwa kedua tersangka diduga melakukan pemerasan terhadap sejumlah kepala desa lain di wilayah Kabupaten Lahat, dengan modus meminta sumbangan sebesar Rp7 juta per desa.
Uang tersebut diklaim sebagai iuran untuk "kegiatan sosial dan forum silaturahmi dengan instansi pemerintah".
Namun hasil penyelidikan mengungkap fakta berbeda. Dana yang dihimpun tersebut tidak pernah digunakan secara transparan dan diduga hanya menjadi dalih untuk mengumpulkan uang dari para kepala desa.
“Modusnya adalah memanfaatkan posisi mereka di forum perangkat desa untuk menekan kades-kades lain agar memberikan sejumlah uang. Namun tidak ada laporan penggunaan dana yang jelas,” tegas Adhryansah.
Barang Bukti dan Dugaan Aliran Dana ke APH
Dalam OTT yang dilakukan tim penyidik Kejati Sumsel, ditemukan sejumlah barang bukti yang cukup signifikan, antara lain:
Dokumen forum perangkat desa
Beberapa unit ponsel
Uang tunai sebesar Rp65 juta
Dugaan kuat, uang tersebut merupakan hasil dari praktik pemerasan yang dilakukan oleh kedua tersangka.
Tak berhenti di situ, Kejati Sumsel juga menyelidiki kemungkinan adanya aliran dana kepada oknum aparat penegak hukum (APH).
“Kami tidak menutup kemungkinan adanya pihak lain yang terlibat, termasuk oknum APH. Penyidikan masih terus kami kembangkan,” ungkap Adhryansah.
Adhryansah menegaskan bahwa perkara ini bukan hanya soal jumlah uang yang dikorupsi, melainkan juga bentuk penyalahgunaan kewenangan yang sangat serius.
“Ini bukan soal kecil atau besarnya nilai barang bukti. Tapi soal moralitas dan pengkhianatan terhadap amanat rakyat yang seharusnya mereka layani,” tambahnya.
Sebagai bagian dari langkah preventif, Kejati Sumsel kini menggandeng bidang Intelijen serta Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) untuk melakukan pendampingan terhadap kepala desa dalam pengelolaan dana desa.
Tujuannya agar pengelolaan keuangan desa lebih transparan dan akuntabel.
Jerat Hukum untuk Tersangka
Atas perbuatannya, kedua tersangka dijerat dengan:
Pasal 2 atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Tindak Pidana Korupsi, atau
Pasal 12 huruf e atau Pasal 11 dalam undang-undang yang sama.
Mereka resmi ditahan di Rutan Tipikor Pakjo Palembang selama 20 hari pertama guna kebutuhan penyidikan lanjutan. (***)
0 Komentar