Musi Online https://musionline.co.id 06 August 2025 @18:48 28 x dibaca 
Anggota DPR Sebut Pilkada Langsung Picu Korupsi, Dukung Pemilihan Lewat DPRD.
Musionline.co.id, Jakarta - Usulan untuk mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) melalui Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali mengemuka di tengah polemik biaya mahal dan tingginya tingkat korupsi di kalangan kepala daerah.
Anggota Komisi II DPR RI, Indrajaya, menyuarakan dukungannya terhadap usulan tersebut dengan alasan bahwa Pilkada langsung justru membuka ruang praktik korupsi yang meluas dan memicu ketidaknetralan aparatur sipil negara (ASN).
Dalam keterangannya di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (6/8/2025), Indrajaya mengutip data Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagai bukti nyata bahwa Pilkada langsung tidak serta merta memperkuat demokrasi.
Justru, sistem ini dinilai membuka celah besar bagi praktik politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan.
“Sejak 2004 hingga 3 Januari 2022, KPK mencatat setidaknya 22 gubernur dan 148 bupati/wali kota telah terjerat kasus korupsi. Sementara ICW mencatat pada periode 2010–2018 saja, ada 253 kepala daerah yang menjadi tersangka korupsi,” ungkap Indrajaya.
Politisi itu menilai biaya tinggi yang dibutuhkan untuk memenangkan Pilkada langsung menjadi akar dari banyaknya kepala daerah yang akhirnya ‘balas modal’ dengan cara menyelewengkan anggaran atau menerima suap dari pihak-pihak tertentu.
Ia menambahkan, pembengkakan anggaran negara juga menjadi dampak yang tidak bisa diabaikan.
“Pemerintah harus merogoh kocek sangat dalam setiap kali Pilkada digelar. Contohnya, Pilkada serentak nasional 2024 menghabiskan anggaran sebesar Rp41 triliun. Ini angka yang sangat besar, dan perlu dievaluasi menyeluruh untuk efektivitas dan efisiensi sistem demokrasi kita,” tambahnya.
Menurut Indrajaya, Pilkada serentak nasional 2024 seharusnya menjadi momentum evaluasi menyeluruh terhadap sistem pemilihan kepala daerah secara langsung.
Terlebih, sejak digulirkannya Pilkada serentak gelombang pertama pada 2015, sistem ini telah mengalami empat kali revisi perundangan, yaitu UU Nomor 1 Tahun 2015, UU Nomor 8 Tahun 2015, UU Nomor 10 Tahun 2016, dan UU Nomor 6 Tahun 2020.
“UU Pilkada adalah salah satu undang-undang yang paling banyak digugat ke Mahkamah Konstitusi. Tahun 2024 saja tercatat ada 35 kali pengujian terhadap UU ini. Ini menunjukkan bahwa regulasinya dibuat tanpa kajian matang, bahkan sarat akrobat hukum dan kepentingan politik tertentu,” tegasnya.
Selain korupsi dan anggaran, Indrajaya juga menyoroti persoalan netralitas ASN dalam Pilkada.
Menurutnya, banyak ASN yang terseret dalam konflik kepentingan karena kedekatan dengan calon petahana.
Praktik ini dinilai telah merusak prinsip netralitas birokrasi dan menciptakan iklim kerja yang tidak sehat di lingkungan pemerintahan daerah.
“Petahana kerap memanfaatkan posisi dan kewenangannya untuk memobilisasi ASN demi kepentingan elektoral. Mereka yang tidak tunduk, bisa mendapatkan tekanan atau bahkan mutasi jabatan secara sepihak,” katanya.
Atas dasar itu, ia menyarankan agar Pilkada dikembalikan ke mekanisme pemilihan melalui DPRD, dengan harapan bisa meredam biaya politik, memperkecil ruang korupsi, serta menghentikan kekacauan hukum yang terus berulang dalam setiap kontestasi.
“Mengembalikan Pilkada ke DPRD bukan berarti memundurkan demokrasi, melainkan mencari bentuk demokrasi yang lebih sehat, efisien, dan bebas dari kegaduhan hukum serta korupsi,” pungkasnya.
Meski demikian, wacana pengembalian Pilkada ke DPRD masih memicu pro dan kontra di kalangan masyarakat sipil dan pegiat demokrasi.
Sebagian menilai langkah ini akan mencederai prinsip kedaulatan rakyat, sementara yang lain mendukung demi stabilitas hukum dan politik di daerah.
Pemerintah sendiri hingga kini belum mengeluarkan pernyataan resmi terkait wacana ini.
Namun, gelombang dukungan di parlemen tampaknya terus menguat seiring evaluasi menyeluruh terhadap pelaksanaan Pilkada serentak 2024. (***)
0 Komentar