Musi Online | Wali Tanpa Nama dan Tanpa Gelar
Home        Berita        Renungan Jumat,Seputar Musi

Wali Tanpa Nama dan Tanpa Gelar

Musi Online
https://musionline.co.id 28 August 2020 @08:40 4350 x dibaca
Wali Tanpa Nama dan Tanpa Gelar
Ilustrasi (net)

Membaca sebuah tulisan di laman Facebook seorang teman, seketika nurani pun tergugah. Musionline.id ingin membagikannya dengan mengutip tulisan tersebut, sebagai inspirasi di Jumat pagi yang penuh baroqah ini.

Dalam tulisan tersebut diceritakan, suatu hari Pulan bertemu dengan “orang gila” (Al-majnuni Murokab) tak jauh dari makam seorang wali. Orang gila itu ngoceh tak jelas, seperti sedang bicara dengan seseorang.

Dia berbicara seperti ini : “andaikan mereka tahu bahwa ada wali “tanpa nama tanpa gelar” yang memiliki kemampuan seperti wali qutb, niscaya mereka akan datang berbondong-bondong mencium tangan wali tanpa nama tanpa gelar tersebut dan minta di do’akan hajatnya.

Jika wali tanpa nama tanpa gelar itu telah wafat, niscaya mereka akan berlama-lama di pekuburannya berdzikir, berdo’a dan bermuhasabah diri meminta ampun kepada ALLAH Maha Pengampun atas dosa-dosa mereka selama ini. Andaikan mereka tahu jika mereka sami’na wa athona kepada wali tanpa nama tanpa gelar, niscaya ALLAH SWT akan angkat derajatnya. Namun sayang sekali karena wali tersebut tanpa nama dan tanpa gelar kewalian, maka seringkali dilupakan dan diabaikan setiap orang”.

Pulan yang dengar ocehannya kaget dam bergumam “hahhh??? Ada wali tanpa nama tanpa gelar yang kemampuannya seperti wali qutb? Siapakah wali tersebut?”

Kemudian dengan sedikit rasa takut, pulan mendekatinya karena penasaran ingin tahu siapa sebenarnya wali tanpa nama tanpa gelar itu?

Tak lama setelahnya, terjadi dialog antara Pulan dan orang gila itu.

Pulan : Maaf mbah, tadi saya dengar mbah ada mengoceh panjang lebar dan berbicara tentang wali tanpa nama tanpa gelar, siapakah sebenarnya wali tersebut mbah? Mengapa sedemikian hebatnya wali tanpa nama tanpa gelar itu hingga kemampuan dan derajatnya hampir menyamai wali qutb?

Orang gila tersebut menoleh ke arah pulan dan matanya sedikit melotot lalu berkata :

Sampeyan siapa? Kamu nguping omonganku yah? Apa pentingnya kamu perlu merasa tahu tentang wali tanpa nama?” ucapnya dengan nada agak tinggi.

Mendengar ucapan yang agak bernada tinggi dan terkesan kasar, membuat pulan sedikit takut dan gentar, lalu berkata :

Maaf mbah, bukan maksud saya menyinggung mbah. Nama saya Pulan, saya seorang muhibbun pecinta para wali-wali ALLAH. Kadang-kadang saya dan teman-teman berziarah ke makam para wali. Saya penasaran dan tertarik dengan wali tanpa nama tanpa gelar yang mbah sebutkan, kalau boleh tahu siapakah wali tersebut mbah?

Orang gila itu tertawa terbahak-bahak dan berkata, dasar bocah goblok, namanya juga wali tanpa nama tanpa gelar, tentu saja aku tidak tahu nama wali tersebut dan apa gelar kewaliannya. Kamu ini tampang keliatan pintar, tapi ternyata goblok yah, ha ha ha.

Mendengar jawaban yang terasa menusuk sekali, perkataannya menyebut pulan anak bodoh dan goblok. Wajah Pulan merah padam menahan sedikit emosi, sepertinya dia telah salah sangka mengira orang gila tersebut orang yang bisa diajak dialog. Nyatanya, dia menyebut Pulan bocah goblok.

Pulan pun sadar, namanya juga wali tanpa nama tanpa gelar, jadi siapa yang tahu nama wali tersebut? siapa yang tahu gelar wali tersebut, sedangkan wali tersebut tanpa gelar? Pulan pun berbalik badan, dengan wajah masam bermaksud meninggalkan si orang gila.

“Hai Pulan mau kemana? Sampeyan ini bagaimana, sudah datang tidak mengucapkan salam, malah pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam. Baru diejek begitu saja sudah bermuka masam, apakah mursyidmu yang seorang wali qutb tidak mengajarkanmu untuk mengucapkan salam saat datang dan pergi? apakah mursyidmu yang seorang wali tidak mengajarkanmu untuk bisa bersabar menahan celaan dan hinaan?” ujar orang gila itu.

Seketika langkah Pulan terhenti, Astaghfirullah…seketika pulan berguman dalam hati, betul sekali, aku tadi lupa mengucapkan salam sebelum memulai obrolan dan aku juga pergi begitu saja tanpa mengucapkan salam. Tak kusangka, dia menyebut mursyidku seorang wali qutb, sepertinya dia mengenal mursyidku.

Pulan pun kembali menghampirinya sembari berucapAssalammu’alaikum…mbah. “Mohon maaf mbah atas kelancangan saya karena datang dan pergi tanpa mengucapkan salam, sekali lagi saya mohon maaf,” kata Pulan sambil mencoba meraih tangan untuk menyalami dan mencium tangannya.

Tak disangka, orang gila itu menepis tangan pulan seraya berkata “Wiss sudah, cukup bilang minta maaf dan tak perlu cium tangan segala,” tegasnya.

Karuan saja, Pulan menjadi salah tingkah. Tiba-tiba suasana hening sejenak beberapa menit, keduanya terdiam dan suasana serasa seperti di kuburan

“Ngapain kamu masih disini?”

Tiba -tiba suaranya memecah keheningan, Pulan pun agak kaget lalu berkata :  Maaf…anu mbah…anu”, orang gila langsung menyela kalimat Pulan “anu … anu …. anu-anu apa? ngomong yang jelas, jangan ngomong jorok. Itu anumu ada disitu, mau pamer dan adu anu? ayo sini aku ladenin, mana anumu? ayo tunjukkan,” katanya garang.

Seketika, muka Pulan pun merah padam. Dia merasa salah tingkah dan bodoh di hadapan orang gila itu. Dengan rasa sedikit menahan malu, Pulan tetap memberanikan diri untuk bertanya.

“Maksud saya bukan anu mbah. Maksud saya adalah ingin tahu siapa sebenarnya wali tanpa nama tanpa gelar yang mbah katakan saat saya mencuri dengar,” ujar Pulan mengulangi pertanyaannya.

Orang gila itu pun berkata, kamu ini ga pinter-pinter juga, sudah berapa lama kamu belajar tassawwuf/spritual? Pulan menjawab, sudah sekitar hampir tujuh tahun mbah.

Lalu orang gila itu berkata sembari menepuk pahanya, sudah tujuh tahun, masa kamu ora mudeng dan tidak tahu wali tanpa nama dan tanpa gelar, memangnya gurumu tidak memberi tahu?

Pulan kembali menjawab, saya sering membaca dan mendengar suhbah dari guru saya mbah. Tapi saya belum tahu dan belum pernah dengar ada wali tanpa nama dan tanpa gelar dan guru saya pun tidak pernah menyebutkan siapa wali tersebut.

Orang gila itu tertawa terkekeh-kekeh lalu berkata, sebenarnya gurumu ada menyebutkannya bahkan berulang-ulang kali menyebutkannya, hanya saja kamu saja yang tidak paham-paham dengan maksud gurumu. Lagipula, sebutannya wali tanpa nama dan tanpa gelar, jelas gurumu tidak tahu nama wali tersebut dan tidak tahu gelar wali tersebut, tapi kamu sendiri tahu siapa wali tersebut, bahkan wali tersebut begitu dekat denganmu.

Pulan pun bergumam dalam hati, apa?? aku mengenal wali tersebut? siapa dia? Pulan bertambah penasaran, siapakah wali tersebut yang dimaksud orang gila itu.

“Maaf mbah, siapakah yang mbah maksud? mbah katakan aku mengenal wali tanpa nama dan tanpa gelar itu, bahkan mbah mengatakan wali tersebut dekat denganku, siapakah yang mbah maksud??” tegas Pulan.

Orang gila itu tertawa terkekeh-kekeh, wali tanpa nama dan tanpa gelar itu adalah orang tuamu sendiri. Sekarang aku tanya kamu, memangnya aku kenal siapa nama orang tuamu dan gelar orang tuamu? yah aku mana tahu,” jelasnya.

Pulan pun bertambah bingung, lalu semakin bertanya-tanya, orang tuaku? Maksud mbah orang tuaku adalah wali tanpa nama dan tanpa gelar? Mengapa bisa begitu mbah?” ungkap Pulan penasaran.

Orang gila itu mulai menatap mata Pulan dengan tajam, lalu bangkit dari duduknya.

“Apakah kau tidak tahu tentang Uwaisy al qarni, seorang sahabat yang tidak pernah bertemu Nabi secara fisik dan juga seorang wali? apa yang menyebabkan dia memiliki derajat yang begitu agung hingga namanya terkenal di langit walau di bumi tak ada seorangpun mengenalnya? kau tahu??!!

Orang gila melanjutkan, sahabat Uwaisy al qarni berkata, bahwa ibunya pernah mendo’akannya “anakku Uwaisy, aku tahu hatimu begitu sangat mencintai dan menginginkan dapat bertemu Nabi Muhammad saw. Namun kini kau datang padaku dengan wajah dirundung sedih karena tak berhasil menemui Rasulullah dan kau memilih segera pulang karena memikirkan dan mengkhawatirkan aku ibumu ini nak dan aku ridho padamu. Ya Allah kau Maha Tahu, saksikanlah bahwa sesungguhnya aku telah ridho pada anakku, maka terimalah ridho ku ya Allah dan ridhoilah anakku Uwaisy.

Dia pun kembali menegaskan, dan apa kau tidak tahu bahwa Shultanul Awliya Syeikh Abdul Qadir Jailani dimasa kecilnya, ketika dirampok malah berkata jujur tentang kantung emas yang dia bawa. Perampok itu heran, mengapa dia malah jujur mengatakan kantung emas yang dibawanya. Padahal setiap orang yang mereka rampok selalu berbohong tentang bawaannya dan berusaha menyembunyikannya dari mereka.

Lalu kau tahu, apa kata Syeikh Abdul Qadir Jailani? Beliau berkata, ketika aku hendak bepergian menuntut ilmu, ibuku berpesan, anakku…bila engkau bertemu dengan siapapun, maka jujurlah jangan berbohong. Sungguh ibu lebih ridho bila engkau jujur, sekalipun engkau harus kehilangan harta dan perbekalanmu daripada kau harus kehilangan kejujuranmu.

Mendengar penuturan orang gila itu, Pulan tersentak kaget, wajahnya mulai pucat pasi. Teringat olehnya salah satu hadist yang menyatakan, bahwa kita harus berbuat baik dan berbakti pada orang tua kita sendiri. Bahkan Rasulullah saw sampai tiga kali menyebut kata, ibumu, ibumu, ibumu baru kemudian ayahmu.

Pulan pun sadar, dirinya tertipu oleh nafsu dan egonya sendiri, hingga tak tahu bahwa selama ini wali tanpa nama yang memiliki kemampuan layaknya wali quthb adalah orang tuanya sendiri.

Kemudian orang gila itu kembali berkata, lihatlah ibumu, berapa lama dia menanggung dirimu dalam perutnya? Apakah kau sanggup menahan perih dan pedih seperti dirinya hanya untuk menginginkan kau lahir di dunia hingga bertaruh nyawa agar kau terlahir sehat dan selamat?

Bahkan ketika dalam kondisi darurat, dia lebih rela menerima kematian agar kau tetap hidup. Apakah kau pernah memikirkan hal ini? kekuatan apa yang membuat ibumu sekuat dan setabah itu, sebagaimana kekuatan awliya yang sanggup menerima dan menanggung beban yang berat? Itu kekuatan Allah SWT yang dianugerahkan kepada ibumu melalui Rahman dan Rahim Nya. Ini adalah sumber kekuatan para awliya.

Pulan pun semakin terpuruk dan diam seribu bahasa. Ingin rasanya dia menangis sejadi-jadinya, serasa telah dihakimi dalam hari perhitungan.

Orang gila itu terus melanjutkan, kau bangga dan takjub dengan karomah para wali, tapi pernahkah kau banggakan dan takjub dengan karomah ibumu yang Allah SWT anugerahkan kepadamu?

Pernahkah kau bangga dan takjub dengan karomah ibumu yang mengajarkan berkata-kata ketika masih bayi? Tidurnya sedikit karena kau selalu nangis dan rewel sebagaimana para awliya yang tidurnya sedikit karena memikirkan ummat Nabi Muhammad saw yang banyak berkeluh kesah dan merengek.

Air susunya seakan-akan tak pernah habis setiap kali kau merengek ingin netek. Apakah kau tak tahu, kalau itu adalah bukti karomah ibumu? Tidakkah kau pernah mendengar kalimat ini ridho orang tua adalah ridho Nya ALLAH. Para awliya, mereka menjadi wali quthb dikarenakan ridho dari orang tua mereka. Tidakkah kau sadar bahwa do’a dan harapan kedua orang tuamu hampir setara dengan wali quthb.

Pulan pun terus mengucapkan, astaghfirullah…ampuuunnn….mendengar celotehan orang gila tersebut yang seakan petir menyambar seluruh tubuhnya.

Orang gila itu berdiri lalu berkata sambil menunjuk kearah Pulan, lihat dirimu, kelak kau akan jadi seorang bapak. Apakah kau tahu karomah bapakmu selama ini? Lihat tangannya, lihat punggungnya, lihat kulitnya, setiap hari dia membanting tulang agar kau tetap bisa makan, tetap bisa tertawa, tetap tersenyum.

Dia bekerja siang dan malam hanya untuk mengabulkan segala macam pinta dan rengekmu. Ketika kau kecil, dirimu melakukan kesalahan dialah orang yang paling depan membelamu. Ketika kau dalam bahaya, dia rela menghadapi bahaya itu untuk menyelamatkanmu. Dia tanggung bebanmu dan ibumu dipundaknya, walau kian rapuh dia tetap berusaha menopang. Tidakkah kau sadari bahwa bapakmu itu seorang Mujahid Fisabilillah yang setiap hari berjuang menafkahi kehidupanmu, bertahun-tahun bahkan berpuluh tahun. Dia bapakmu adalah Mujahid kebanggaanmu.

Pulan semakin menjadi, dirinya seperti hancur lebur mendengar ocehan orang gila itu. Pulan pun merasa dirinya yang gila, bukan orang gila yang berbincang dengannya. Pulan melupakan siapa sesungguhnya orang tuanya sendiri. Pulan melupakan semua yang mereka beri, bahkan pulan sering takjub akan pesona dan karomah wali, tapi tak pernah sadar dengan orang tuanya sendiri yang merupakan wali tanpa nama dan tanpa gelar kewalian.

Sesaat kemudian orang gila itu berlalu meninggalkan Pulan tanpa sepatah katapun. Pulan mengikuti dari belakang, ingin tahu kemana dia pergi. Ternyata dia mendatangi dua gundukan tanah dan duduk di sana.

Mulutnya komat-kamit, seperti orang yang berdialog dan berbicara dengan bahasa daerah yang Pulan tidak mengerti. Sesaat tersenyum, terkadang tertawa di hadapan gundukan kedua tanah yang ternyata kuburan. Pulan pun berhusnudzon, mungkin itu kuburan seorang wali besar.

Setelah tertawa, orang gila itu diam dan suasana menjadi hening. Lalu orang gila itu mulai menangis sembari berbicara seperti orang yang tengah mencurahkan isi hatinya. Tangannya pun mengelus-elus kuburan itu dan tangisannya kian menjadi bahkan meraung. Pulan seperti larut dalam kesedihan dan bingung lantaran tidak mengerti bahasa daerah yang diucapkan orang gila itu.

Akhirnya Pulan mengerti, mengapa orang gila itu meraung menangis di kuburan yang semula dia sangka seorang wali. Ditengah isak tangis orang gila itu, Pulan mendengar kalimat mbok dan pada kuburan satunya mbah.

Melihat itu, Pulan ingin menangis sejadi-jadinya. Ternyata itu kuburan orang tua orang gila itu, ternyata itu kuburan wali tanpa nama dan tanpa gelar.

Pulan pun berbalik badan, bergegas ingin pulang ke rumah untuk menemui kedua orang tuanya yang masih hidup. Pulan merasa beruntung masih memiliki wali tanpa nama dan tanpa gelar yang masih hidup didekatnya. Sepanjang jalan dia pun berdo’a, allahumma firlana dzunubanna waliwalidayya warhamhumma kama robbaya nishagiro. (***)



Tinggalkan Komentar Anda


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *



0 Komentar

Sumsel Maju
Maroko
Top