Musi Online https://musionline.co.id 02 June 2025 @18:12 90 x dibaca 
Daftar 4 Provinsi Penikmat Pajak Rokok Terbesar di Indonesia, Jabar Raup Rp4,1 Juta.
Musionline.co.id, Jakarta - Industri Hasil Tembakau (IHT) terus menjadi penyumbang signifikan bagi pundi-pundi penerimaan daerah di sejumlah provinsi di Indonesia.
Berdasarkan estimasi dari Keputusan Dirjen Perimbangan Keuangan No. 49/PK/2024, tercatat ada empat provinsi yang menjadi penikmat terbesar dari pajak rokok.
Jawa Barat berada di urutan teratas dengan proyeksi penerimaan mencapai Rp 4,1 triliun.
Provinsi lainnya yang ikut mencicipi manisnya penerimaan pajak dari rokok yakni Jawa Timur (Rp 3,3 triliun), Jawa Tengah (Rp 3,1 triliun), dan Daerah Khusus Jakarta (Rp 906,1 miliar).
Nilai ini mencerminkan ketergantungan tinggi sebagian wilayah terhadap sektor IHT dalam struktur ekonomi daerah.
Namun, di balik besarnya penerimaan tersebut, tersimpan tantangan serius terhadap keberlangsungan industri dan regulasi yang semakin ketat.
Industri Rokok Masih Jadi Andalan Ekonomi Daerah
Menurut Joko Budi Santoso, Ekonom dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB), IHT masih menjadi andalan penerimaan bagi beberapa provinsi besar di Pulau Jawa.
Hal ini tak lepas dari tingginya jumlah konsumen rokok serta keberadaan pabrik dan perusahaan pengolahan hasil tembakau di wilayah tersebut.
“Dari data yang dirilis Dirjen Perimbangan Keuangan, terlihat jelas bahwa Jawa Barat mendominasi penerimaan pajak rokok, disusul Jawa Timur dan Jawa Tengah.
Ini mencerminkan konsentrasi industri rokok di wilayah tersebut, baik dari sisi produksi maupun konsumsi,” kata Joko saat diwawancarai, Minggu (01/06/2025).
Lebih lanjut, Joko menyebut bahwa peran pajak rokok tidak hanya menopang anggaran daerah, tetapi juga memberikan kontribusi terhadap pendanaan program kesehatan masyarakat, termasuk Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).
Empat Provinsi Penikmat Pajak Rokok Terbesar di Indonesia
Berikut ini adalah rincian penerimaan pajak rokok berdasarkan estimasi Keputusan Dirjen Perimbangan Keuangan No. 49/PK/2024:
Jawa Barat: Rp 4,1 triliun
Jawa Timur: Rp 3,3 triliun
Jawa Tengah: Rp 3,1 triliun
Daerah Khusus Jakarta: Rp 906,1 miliar
Penerimaan ini berasal dari mekanisme Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) yang disalurkan kepada daerah penghasil dan/atau daerah yang memiliki fasilitas penjualan produk hasil tembakau secara signifikan.
Regulasi Ketat Membuat Industri Rokok Tertekan
Namun, di sisi lain, pemerintah telah mengadopsi sejumlah kebijakan restriktif terhadap bahan baku dan produksi rokok.
Dampaknya pun terasa langsung terhadap jumlah pabrik rokok di Indonesia.
“Pada tahun 2007 jumlah pabrik rokok di Indonesia tercatat sekitar 4.700 unit. Namun hingga akhir 2024, jumlah tersebut menyusut drastis menjadi sekitar 1.700 pabrik saja,” ungkap Joko yang juga menjabat sebagai Peneliti Senior Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi FEB UB.
Regulasi yang tidak bersahabat serta kenaikan tarif cukai yang agresif menyebabkan banyak pelaku usaha, terutama industri rokok kecil dan menengah, tak mampu bertahan di tengah tekanan biaya dan persaingan.
Malang Raya: Potret Mikro Industri Rokok yang Meredup
Fenomena serupa juga terjadi di daerah-daerah seperti Malang Raya, yang dahulu dikenal sebagai salah satu basis kuat IHT nasional.
Ketua Gabungan Perusahaan Rokok Malang (Gaperoma), Johny, mengungkapkan bahwa anggota asosiasi kini tinggal menyisakan sekitar 11 perusahaan dari yang sebelumnya puluhan.
“Regulasi saat ini tidak kondusif. Banyak produsen kecil dan menengah yang gulung tikar karena tidak mampu bersaing atau memenuhi syarat ketat perizinan dan cukai,” kata Johny.
Ia berharap ada pendekatan yang lebih inklusif dan dialog terbuka antara pemerintah pusat dan daerah serta pelaku usaha untuk merancang kebijakan IHT yang adil dan berkelanjutan.
Ekstensifikasi Cukai sebagai Alternatif Pendapatan Negara
Di tengah tantangan terhadap sektor IHT, Joko Budi Santoso menyarankan agar pemerintah tidak bergantung sepenuhnya pada cukai rokok.
Pemerintah perlu mempertimbangkan ekstensifikasi cukai melalui diversifikasi Barang Kena Cukai (BKC), termasuk minuman berpemanis, produk vaping, hingga plastik sekali pakai.
“Sudah waktunya pemerintah meluaskan basis penerimaan cukai dengan menambahkan jenis barang yang dapat dikenakan cukai. Ini bukan hanya untuk meningkatkan penerimaan, tetapi juga untuk melindungi masyarakat dari produk berisiko,” jelasnya.
Langkah ini dinilai strategis sebagai upaya menjaga stabilitas pendapatan negara dari sektor konsumsi, sekaligus memberikan insentif untuk mengurangi konsumsi barang-barang yang berdampak negatif bagi kesehatan dan lingkungan.
Peluang Pengembangan Industri Rokok di Daerah
Meski berada di tengah tekanan regulasi dan penurunan jumlah pabrik, beberapa pemerintah daerah masih melihat potensi pengembangan industri rokok lokal.
Salah satunya adalah Kabupaten Malang, yang dinilai masih memiliki ruang untuk mengembangkan IHT secara terukur.
Menurut Kepala Bappeda Kabupaten Malang, Tomie Herawanto, pengembangan IHT di daerah tetap memungkinkan asalkan tidak mengganggu ketahanan pangan dan dilakukan secara berkelanjutan.
“Pendirian industrinya sebaiknya tidak dilakukan di Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B). Ini penting untuk menjaga keseimbangan antara sektor industri dan pertanian yang sama-sama vital bagi Kabupaten Malang,” ujar Tomie.
Ia menambahkan bahwa sektor IHT juga bisa menjadi penggerak UMKM tembakau, penyerapan tenaga kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi mikro jika dikelola secara bijak.
Perlu Rembuk Nasional untuk Masa Depan Industri Tembakau
Dalam jangka panjang, Joko mengusulkan perlunya rembuk nasional yang melibatkan semua pemangku kepentingan – mulai dari pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku industri, akademisi, hingga masyarakat sipil – untuk menyusun roadmap kebijakan IHT nasional.
“Kita tidak bisa membiarkan industri sebesar ini berjalan tanpa arah yang jelas. Diperlukan roadmap yang menjawab tantangan kesehatan, keberlanjutan industri, perlindungan pekerja, serta kesinambungan penerimaan daerah dan pusat,” paparnya.
Penindakan Rokok Ilegal Perlu Ditingkatkan
Selain dari sisi regulasi dan kebijakan, penanganan peredaran rokok ilegal juga menjadi sorotan.
Rokok ilegal yang tidak membayar cukai menyebabkan kebocoran penerimaan negara yang cukup besar setiap tahunnya.
“Pengawasan dan penindakan terhadap rokok ilegal harus ditingkatkan. Jangan sampai industri legal yang taat aturan justru mati pelan-pelan karena kalah bersaing dengan produk ilegal,” tegas Johny.
Dalam konteks ini, sinergi antara Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kepolisian, serta pemerintah daerah menjadi kunci utama untuk memberantas jaringan distribusi rokok ilegal secara menyeluruh.
Besarnya penerimaan pajak dari sektor rokok memang memberikan dampak positif bagi keuangan daerah, khususnya di provinsi-provinsi besar seperti Jawa Barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jakarta.
Namun di sisi lain, sektor ini juga menghadapi berbagai tantangan mulai dari regulasi ketat, penurunan jumlah pabrik, hingga maraknya rokok ilegal.
Diperlukan keseimbangan antara perlindungan kesehatan masyarakat dan keberlanjutan ekonomi industri.
Pemerintah dituntut untuk bersikap adaptif dan inklusif dalam menyusun kebijakan ke depan, termasuk melakukan diversifikasi cukai dan penguatan penegakan hukum di lapangan. (***)
0 Komentar