Musi Online | Bingko, Kuliner Tradisional Khas Pedamaran OKI yang Tetap Lestari di Tengah Perubahan Zaman
Korpri
Home        Berita        Ruang Seni Budaya

Bingko, Kuliner Tradisional Khas Pedamaran OKI yang Tetap Lestari di Tengah Perubahan Zaman

Musi Online
https://musionline.co.id 12 July 2025 @20:02
Bingko, Kuliner Tradisional Khas Pedamaran OKI yang Tetap Lestari di Tengah Perubahan Zaman
Bingko, Kuliner Tradisional Khas Pedamaran OKI yang Tetap Lestari di Tengah Perubahan Zaman.

Musionline.co.id, Pedamaran – Jika Anda berkesempatan mengunjungi Kecamatan Pedamaran di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI), Sumatera Selatan, jangan lupa mencicipi bingko. 
Makanan ringan tradisional ini bukan hanya memanjakan lidah, tetapi juga menyimpan cerita panjang tentang tradisi, kearifan lokal, dan kehangatan keluarga masyarakat Pedamaran.
Bingko dikenal sebagai panganan khas Pedamaran yang sangat terjangkau. Di Palembang sendiri, kue ini lebih populer dengan nama “gunjing”, yang bentuknya mirip kue pukis. 
Namun, sensasi menikmati bingko langsung di Pedamaran menawarkan pengalaman berbeda yang sulit dilupakan. 
Hampir di setiap sudut Pedamaran, terutama di pagi dan sore hari, bingko dijajakan dengan harga sangat murah, berkisar antara Rp500 hingga Rp1.000 per buah.
Resep Sederhana dari Bahan Lokal yang Melimpah
Bingko Pedamaran terbuat dari bahan sederhana namun kaya cita rasa, yakni tepung beras dan kelapa. 
Kedua bahan ini memang sangat mudah ditemukan di wilayah agraris seperti Pedamaran. 
Hampir setiap rumah memiliki sawah padi dan kebun kelapa sendiri, sehingga wajar jika olahan berbahan dasar beras menjadi makanan sehari-hari masyarakat setempat.
“Sejarah pasti tentang bingko saya kurang tahu. Tapi sejak saya kecil, orang tua kami sudah membuat bingko ini. Dulu tepung berasnya diisar (ditumbuk) pakai batu, cetakan bingko pun dari logam yang diwariskan turun-temurun,” tutur Robinhod Kunut, tetua adat Marga Danau, saat ditemui wartawan pada Sabtu (12/07/2025).
Bingko, Penyelamat Perut Anak-Anak Pedamaran
Menilik masa lalu, bingko bukan sekadar kudapan. Bingko adalah bagian dari cara bertahan hidup masyarakat Pedamaran yang rata-rata memiliki banyak anak. 
Tidak jarang satu keluarga punya 10 sampai 12 anak. Dengan demikian, para ibu harus memasak tiga kali sehari agar seluruh anggota keluarga tetap kenyang.
“Karena banyak anak, bingko dibuat pagi hari supaya anak-anak ada camilan sebelum makan siang. Ini juga bagian dari kearifan lokal kita, memanfaatkan bahan pokok beras supaya tidak melulu nasi. Dulu keluarga sini kreatif mengolah bahan seadanya,” jelas Suparman Guluks, tokoh adat setempat.
Dari Dijajakan Keliling hingga Menjadi Hidangan Nostalgia
Pada era 1970-1990-an, setelah kebutuhan rumah tangga tercukupi, para ibu di Pedamaran akan menjual bingko dan kue tradisional lainnya.
Bingko biasanya dibawa anak-anak mereka menggunakan tampah besar dari anyaman bambu, dijajakan keliling kampung sejak pukul 6 hingga 8 pagi.
“Saya sejak kecil sudah terbiasa menjajakan bingko buatan ibu, sekitar tahun 70-an. Kalau bingko tidak laku sebelum jam 8, saya berhenti jualan lalu langsung berangkat sekolah. Uangnya saya kasih ke ibu, dapat upah 1 rupiah buat jajan,” kenang Ayani, salah satu pembuat bingko yang ditemui di simpang zebra Pedamaran.
Kini tradisi menjajakan bingko keliling memang sudah jarang. Jumlah anak dalam keluarga sudah tidak sebanyak dulu, membuat pola konsumsi pun berubah. 
Namun begitu, bingko tetap lestari. Ayani misalnya, masih rutin membuat bingko setiap sore. Ia mulai memasak pukul 3 dan biasanya dagangannya ludes sebelum pukul 5 sore.
“Alhamdulillah walau tidak dijual keliling lagi, tetap banyak yang beli. Lumayan buat tambahan belanja dapur,” ujarnya sambil tertawa.
Bingko Pedamaran, Menghadirkan Rindu Kampung Halaman
Bagi warga Pedamaran yang merantau ke kota, bingko bukan hanya soal rasa, tetapi juga kenangan masa kecil dan cinta kampung halaman. 
Dedi Irwanto, warga Pedamaran yang kini tinggal di Palembang, selalu menyempatkan diri mencari bingko tiap kali mudik.
“Kalau di Palembang ada juga bingko atau gunjing, tapi rasanya beda. Bingko Pedamaran ini lebih gurih, kelapanya kerasa, kadang ada bingko pisang gedah yang dibungkus daun pisang, aromanya luar biasa. Saya sering habiskan satu cetakan isinya 12 biji langsung di tempat,” kata Dedi sambil tersenyum.
Di tengah modernisasi dan derasnya kuliner instan, bingko tetap eksis sebagai kuliner tradisional yang bertahan berkat cinta masyarakat Pedamaran pada warisan leluhur. Bagi mereka, bingko bukan sekadar kue—ia adalah simbol kebersamaan, kesederhanaan, dan kehangatan keluarga. (***)



Tinggalkan Komentar Anda


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *



0 Komentar

Maroko
Top