Musi Online | Tunggu Tubang Pada Suku Semende
Home        Berita        Ruang Seni Budaya

Tunggu Tubang Pada Suku Semende

Musi Online
https://musionline.co.id 24 July 2022 @22:31 648 x dibaca
Tunggu Tubang Pada Suku Semende
Salah satu areal persawahan Tunggu Tubang di Desa Muara Tenang, Kecamatan Semende Darat Tengah, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel). (Foto : Dok)

Musionline.co.id - Setiap daerah pasti memiliki adat, istiadat dan budaya yang diajarkan dan diturunkan dari nenek moyang. Salah satu daerah atau suku di Indonesia yang hingga sekarang memegang teguh ajaran nenek moyang atau leluhur itu adalah suku Semende, Kabupaten Muara Enim, Provinsi Sumatera Selatan (Sumsel).

Jika dibahas lebih dalam, suku Semende atau jeme semende menyebar di beberapa daerah di Indonesia, utamanya di alur bukit barisan Pulau Sumatera. Namun, di sini kita akan membahas salah satu ajaran para leluhur Semende yang masih dipegang para keturunannya hingga sekarang yaitu Tunggu Tubang.

Tunggu Tubang dalam suku semende adalah nama jabatan yang diberikan kepada anak perempuan tertua sebagai pengelola harta pusaka dari orang tuanya. Juga sering disebut badah balek (tempat pulang).

Ketika anak perempuan tertua lahir ke dunia, maka secara otomatis ia berstatus sebagai tunggu tubang, namun haknya baru diserahkan setelah ia menikah.

Anak yang mendapatkan nama jabatan tunggu tubang, harus tinggal di rumah orang tuanya meskipun telah berkeluarga (menikah). Rumah ini merupakan rumah bersama, badah balek setiap keturunan dari keluarga tersebut.

Rumah tunggu tubang identik dengan tempat berkumpul, jika ada perayaan-perayaan besar maka yang digunakan adalah rumah tunggu tubang.

Tentunya sebagai anak tunggu tubang (perempuan tertua), mempunyai hak dan kewajiban terhadap orang tua dan saudara-saudaranya, kelawai (saudara perempuan) serta muanai (saudara laki-laki).

Tunggu tubang diberikan hak untuk mengelola harta berupa rumah, sawah, dan kebun yang dipercayakan orang tuanya setelah ia menikah. Pun pengelolaan penuh atas harta tersebut guna diambil manfaatnya.

Tapi, dibalik hak yang dipercayakan kepada tunggu tubang, juga memiliki kewajiban untuk tinggal di rumah orang tuanya setelah menikah, memelihara orang tua, kakek dan nenek yang masih hidup, pun saudara-saudaranya yang belum menikah.

Tunggu tubang biasanya mulai bekerja di sawah atau kebun bersama suaminya, setelah pengelolaan harta tersebut dipercayakan kepadanya. Namun, tidak semua anak tunggu tubang mengelola kebun dan sawah secara langsung. Jika anak tunggu tubang memiliki pekerjaan lain, bisa mengupahkan pengelolaan sawah dan kebun kepada orang lain, tapi tetap dalam pengawasannya.

Anak tunggu tubang selain mengelola, berhak mengambil manfaat dari harta tersebut. Misalnya hasil dari sawah, kebun atau kolam ikan. Selain digunakan untuk kebutuhan harian, juga bisa dijual untuk keperluan lain.

Namun, anak tunggu tubang hanya boleh mengelola dan mengambil hasil atau manfaat dari harta yang dipercayakan kepadanya, tidak untuk menjual dan merusak harta tersebut.

Tunggu tubang juga mempunyai hak untuk memperbaiki pusaka tunggu tubang (rumah, sawah, kolam, dan kebun).

Setelah orang tua meninggal, tunggu tubang tetap melanjutkan hak yang diberikan kepadanya. Bedanya, saat orang tua masih ada, meminta persetujuan lebih dulu kepada orang tua dalam memanfaatkan harta.

Ketika orang tua sudah tidak ada, tunggu tubang bisa langsung membelanjakan dari manfaat atau hasil mengelola harta pusaka, dengan syarat digunakan untuk kebaikan.

Ada hak dan kewajiban tunggu tubang, tentunya ada juga sanksi terhadapnya jika lalai. Disaat tunggu tubang lalai dalam melaksanakan kewajibannya terhadap orang tua, saudara-saudaranya yang belum menikah dan kewajiban lain yang dipercayakan kepadanya.

Disinilah peran Meraje, yaitu kumpulan laki-laki yang ada dalam kekerabatan tunggu tubang. Mereka akan melakukan nasihat dan teguran, apabila tunggu tubang melakukan kesalahan.

Seperti, tidak peduli keadaan orang tua alias hanya sibuk dengan dirinya, suaminya dan anak-anaknya saja. Tidak memberikan pendidikan bagi saudara-saudaranya yang belum menikah, terlantar atau mengusir dari rumah dan tidak melaksanakan kewajiban dengan sebaik-baiknya.

Maka meraje akan menasihati untuk lebih peduli, merawat sebagaimana kewajiban anak terhadap orang tua, pun terhadap saudaranya yang belum menikah, juga terhadap harta pusaka.

Jika setelah dinasihati tunggu tubang terus melalaikan kewajibannya, maka akan dilakukan rapat keluarga. Dalam rapat keluarga ini, yang hadir adalah orang-orang yang ada dalam sistem kekerabatan tunggu tubang.

Sistem kekerabatan tunggu tubang dimaksud adalah Lebu Meraje ialah kakak atau adik laki-laki dari buyut tunggu tubang, lebih tinggi kedudukan dan kekuasaannya dalam segala hal.

Kemudian Payung Meraje ialah kakak atau adik laki-laki dari puyang tunggu tubang, bertugas melindungi, mengasuh dan mengatur jurai menurut agama dan adat berlaku.

Lalu ada Jenang Meraje ialah kakak atau adik laki-laki dari nenek tunggu tubang, tugasnya mengawasi, memberi petunjuk yang telah digariskan oleh payung meraje.

Dan terakhir Meraje ialah kakak atau adik laki-laki dari ibu tunggu tubang, bertugas sebagai orang yang terjun langsung membimbing dan mengasuh tunggu tubang sesuai agama dan adat.

Khusus untuk Payung Meraje atau saudara laki-laki dari puyang tunggu tubang, memiliki peranan mengawasi, mengasuh, membimbing, menasihati tunggu tubang.

Sebenarnya, kedudukan payung meraje lebih tinggi, sebab bisa saja memutus hak tunggu tubang jika melakukan kelalaian dan keputusan dikeluarkan dalam rapat keluarga.

Berkisah dari tulisan di atas, jadi wajar saja jika harta pusaka leluhur tetap terjaga di tanah tunggu tubang semende. Seperti rumah badah balek, tanah, sawah, kolam dan kebun kopi yang dijaga terus menerus dan turun-temurun dari generasi ke generasi tunggu tubang hingga berusia ratusan tahun. (***)





 



Tinggalkan Komentar Anda


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *



0 Komentar

Sumsel Maju
Maroko
Top