Musi Online | Kedudukan Laki-laki Dalam Adat Tunggu Tubang Semende
Home        Berita        Ruang Seni Budaya

Kedudukan Laki-laki Dalam Adat Tunggu Tubang Semende

Musi Online
https://musionline.co.id 25 July 2022 @10:26 997 x dibaca
Kedudukan Laki-laki Dalam Adat Tunggu Tubang Semende
(foto : ilustrasi)

Musionline.co.id - Dalam adat suku semende, anak perempuan tertua secara otomatis bertindak sebagai tunggu tubang, dan berhak menjaga, mengelola, memelihara harta pusaka serta mengambil dan memanfaatkan hasilnya.

Nah, bagaimana peran anak laki-laki dalam adat tunggu tubang?

Dalam sistem kekerabatan jeme (masyarakat) semende, ada pengawasan dan bimbingan para Meraje (anak laki-laki) dari garis lurus ke atas ibu (anak tunggu tubang).

Siapa saja yang diberi jabatan secara otomatis sebagai Meraje dalam adat tunggu tubang, yaitu :

1. Lebu Meraje atau Lebu Jurai. Ini adalah kakak atau adik laki-laki dari buyut tunggu tubang, dengan kedudukan dan kekuasaan yang lebih tinggi dalam segala hal.

2. Payung Meraje atau Payung Jurai, adalah kakak atau adik laki-laki dari puyang tunggu tubang. Payung Meraje bertugas melindungi, mengasuh, dan mengatur jurai dengan baik sesuai ajaran agama dan adat.

3. Jenang Meraje atau Jenang Jurai, merupakan kakak atau adik laki-laki dari nenek tunggu tubang. Jenang Meraje memberikan petunjuk, mengawasi yang telah digariskan oleh payung meraje kepada keluarga tunggu tubang, dan melaporkannya kepada payung meraje.

4. Meraje ialah kakak atau adik laki-laki dari ibu tunggu tubang. Meraje adalah orang yang terjun langsung membimbing dan mengasuh tunggu tubang dan anak belai, ke jalan yang benar sesuai ajaran agama dan adat.

Para Meraje ini harus ditaati segala perintahnya, sepanjang untuk membangun dan memperbaiki apa saja yang berhubungan dengan tunggu tubang serta harta pusakanya.

Meraje akan selalu berada di belakang, memberikan teguran, nasehat, jika ada kekurangan dan penyimpangan.

Jika Meraje tidak dihormati dan ditaati perintahnya, bisa mengambil tindakan yang harus dilakukan. Misalnya, mengambil sawah, kebun dan rumah tunggu tubang. Tentunya sebagai pelajaran, bukan untuk dimiliki. Jika tunggu tubang telah merubah kelakuannya, maka akan diberikan kembali.

Nah, kekuasaan anak laki-laki dalam segala hal tetap akan dihormati dan ditaati oleh tunggu tubang. Status tunggu tubang adalah anak belai dalam adat suku semende.

Anak belai maksudnya adalah turunan dari kakak atau adik perempuan dari ibu, harus dibela oleh para Meraje.

Para Meraje ini, bukan hanya mengawasi tunggu tubang, namun dalam masalah-masalah lain berperan penting bagi apit jurai (keluarga).

Contohnya, ketika upacara pernikahan, Meraje akan memberikan arahan, mengatur jalannya acara, bahkan yang bertindak menyembelih kerbau/sapi adalah Meraje.

Meraje adalah semua kakak atau adik laki-laki dari ibu, nenek, puyang berapapun banyak jumlahnya dan dimanapun mereka berada.

Tapi dalam melaksanakan tugas-tugas berkenaan dengan hak dan kewajiban selaku meraje, yang tertua lebih didahulukan baru kemudian yang lebih muda. Pengecualiannya, apabila yang tertua telah menyerahkan kepada yang lebih muda untuk mengambil kebijaksanaan dan melaksanakannya.

Kepemimpinan dan pengawasan dari Meraje mempunyai tingkatan. Tingkatan pertama adalah Lebu Meraje, sebagai pengawas tertinggi terhadap tunggu tubang dan semua apit jurai.

Di tingkatan kedua ada Payung Meraje, kemudian tingkatan ketiga Jenang Meraje. Sementara Meraje pada tingkatan akhir berfungsi mengawasi langsung.

Jika ada kesalahan diperbuat tunggu tubang, maka Lebu Meraje memerintahkan Payung Meraje dan Payung Meraje memberitahukan kepada Jenang Meraje dan terus ke Meraje.

Disinilah peran Meraje untuk menegur tunggu tubang secara langsung agar memperbaiki kesalah yang telah dilakukan.

Lebu, Payung dan Jenang Meraje tidak berhak menegur tunggu tubang secara langsung, melainkan harus berjenjang.

Meraje ini mempunyai hak sebagai pemimpin keluarga dalam adat semende. Hak Meraje adalah memimpin musyawarah, menetapkan tunggu tubang, besuare, dan dipatuhi perintahnya.

Musyawarah

Jeme semende adalah masyarakat yang mengutamakan musyawarah dalam setiap mengambil keputusan-keputusan penting. Baik berkenaan keluarga, kepentingan umum, maupun berhubungan dengan masalah pemerintahan.

Ketika musyawarah menyangkut apit jurai dan berkenaan dengan adat, maka yang memimpin adalah meraje. Pendapat dan pemikirannya lebih dahulu didengarkan, baru ditanggapi dan dibahas oleh para anggota keluarga lainnya.

Akhirnya, setelah mendengar dan mempelajari semua pembicaraan yang berkembang dalam musyawarah. Meraje akan mengambil kesimpulan dan memutuskan hasil musyawarah. Keputusan itu harua diikuti dan dilaksanakan semua apit jurai.

Menetapkan Tunggu Tubang

Sebagai pemimpin dalam jurai, Meraje berhak menetapkan siapa yang menjadi tunggu tubang penerus dalam jurai. Walaupun pada dasarnya, anak perempuan tertua otomatis menjadi tunggu tubang. Tapi penetapan tetap melalui musyawarah seluruh apit jurai dipimpin meraje.

Apalagi jika dalam keluarga penerus tunggu tubang tidak ada anak perempuan, maka musyawarah harus dilakukan guna menetapkan siapa diantara anak laki-laki yang akan menjabat sebagai tunggu tubang, disebut tunggu tubang ngangkit (mengangkat tunggu tubang).

Bila dalam menjalankan tugasnya, tunggu tubang membuat kesalahan menurut aturan adat dan ajaran agama, maka Meraje berhak menegur, memarahi, memberi peringatan, dan menjatuhkan sanksi. Pun jika kesalahan tersebut sudah sangat besar, maka meraje berhak mencabut kedudukan tunggu tubang dan memindahkannya kepada anak yang lain.

Besuare

Besuare (berbicara) maksudnya menjadi juru bicara apit jurai dalam hal tertentu. Seperti memberikan sambutan mewakili keluarga pada upacara selamatan atau pernikahan. Kemudian mengajukan atau menerima lamaran bagi apit jurai, dan menyelesaikan perselisihan atau mengadakan pemufakatan dengan pihak lain.

Dipatuhi Perintah, Dijauhi Larangannya

Hal ini selama perintah dan atau larangan meraje itu tidak bertentangan dengan aturan adat dan ajaran agama Islam.

Penting bagi seorang meraje untuk mengetahui, mempelajari, dan mendalami aturan adat Semende dan ajaran Islam. Dengan pengetahuan tersebut, dalam memimpin tidak bertengangan dengan adat dan agama agar perintah dan larangannya dipatuhi oleh anak belai.

Ada hak, tentunya ada juga kewajiban bagi seorang Meraje. Kewajibannya adalah membimbing, mengayomi serta mengawasi. Kemudian memberi hukuman/sanksi, melestarikan adat, dan mengawasi harta pusaka.

Membimbing, Mengayomi dan Mengawasi

Meraje bertindak sebagai orang tua yang mendidik, membimbing, mengayomi dan mengawasi para anak belai dalam jurai. Tujuannya agar mereka dapat hidup layak sesuai aturan adat dan ajaran agama Islam.

Memberi Hukuman atau Sanksi

Setelah memberikan bimbingan dan didikan kepada para anak belai, maka meraje mengadakan pengawasan terhadap mereka. Kalau ada diantara mereka, terutama tunggu tubang yang berbuat menyalahi aturan adat dan atau ajaran agama, maka meraje berkewajiban menegur dan memperingatkan agar tidak mengulangi perbuatan itu.

Apabila sudah diperingatkan masih melanggar aturan adat dan atau ajaran agama, maka meraje berkewajiban memberikan hukuman sesuai dengan tingkat pelanggaran yang dilakukan.

Melestarikan Adat

Sebagai tanggung jawab pemimpin adat, tentulah meraje itu harus menjaga dan melestarikan adat Semende.

Cara pelestariannya adalah dengan senantiasa melaksanakan semua aturan adat itu. Di samping itu pula, meraje berkewajiban mengajari dan melatih para anak belai bagaimana berbuat dan bertindak menurut aturan adat Semende dalam kehidupan sehari-hari dan pada pelaksanaan upacara-upacara adat.

Selain itu, meraje harus dapat memimpin pelaksanaan upacara-upacara adat, mewakili apit jurai dalam peristiwa-peristiwa tertentu, menengahi perselisihan antara keluarga atau dengan pihak lain.

Mengawasi Harta Pusaka

Setiap apit jurai Semende mempunyai harta pusaka, minimal terdiri dari sebuah rumah dan sebidang sawah. Semua harta pusaka itu dikuasakan kepada anak yang menjadi tunggu tubang untuk menjaga, menunggu, dan mengambil hasilnya.

Tugas dan kewajiban meraje adalah mengawasi tunggu tubang dalam mengurus harta pusaka itu, apakah dilaksanakan dengan baik atau asal-asalan.

Begitu pula apabila tunggu tubang bertindak salah terhadap harta pusaka, seperti hendak menjual sawah, maka meraje berkewajiban memperingatkan dan melarang. (***)



Tinggalkan Komentar Anda


Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *



0 Komentar

Sumsel Maju
Maroko
Top